Ibert

Selasa, 25 April 2017

Catan kuliah ke 3




TUGAS
PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA CITRA
“CATATAN KULIAH 3”

BERTI S. RMBAEL
NIM 2014-64-007



PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON
                                                          2017




Catan materi kuliah ke 
BAB 3 SISTEM PENGINDERAAN JAUH PENGHASIL CITRA DIGITAL
Berbeda  halnya dengan bidang desain yang melayani kebutuhan artistik atau kebutuhan penerbitan (publishing), bidang penginderaan jauh menggunakan citra sebagai data yang masih perlu dianalisis dan diinterpretasi untuk menghasilkan informasi turunan. Informasi turunan ini biasanya berupa peta dengan tema isi yang sesuai dengan kebutuhan kajian. Analisis dan interpretasi  citra digital tak dapat melepaskan diri dari sistem yang menghasilkannya. Dalam konteks penginderaan jauh, sistem tersebut adalah kesatuan yang meliputi sensor,wahana, energi elektromagnetik, atmosfer, benda di permukaan bumi, dan misi sistemnya. Citra digital penginderaan jauh sering dikaitkan dengan sistem perekaman oleh satelit, airborne scanner, dan juga pesawat ulang alik (space shuttle). Hingga saat ini, sistem satelit dikenal sebagai sistem penginderaan jauh antariksa paling mapan dan mendapat perhatian besar untuk dikembangkan menjadi sistem sepenuhnya operasional. Disamping itu, dalam kurun waktu sekitar 30 tahun terakhir, sistem pencitraan digital melalui wahana pesawat udara ataupun ruang angkasa telah ditekankan pada pembentukan citra multispektral dan bahkan hiperspektral. Oleh karena itu, titik berat pembahasan ini adalah sistem satelit penginderaan jauh yang menghasilkan citra satelit digital multispektral . meskipundemikian, latar belakang fisika penginderaan jauh akan dipaparkan secara ringkas terlebih dahulu.
3.1 PENELITIAN DI LAPANGAN DAN LABORATORIUM SEBAGAI BASIS PERANCANGAN SENSOR SATELIT
Bagaimana para pakar merancang sensor untuk satelit sumberdaya? Jawaban atas pertanyaan ini berakar jauh pada penelitian eksperimental di lapangan dan laboratorium, khususnya mengenai pola respons spektral objek dalam berbagai interval panjang gelombang. Uraian berikut ini menjelaskan tentang spektrum elektromagnetik dan sistem sensor dalam penginderaan jauh.
3.1.1 Spektrum Elektromagnetik dalam Penginderaan Jauh
Sistem penginderaan jauh sebenarnya bekerja dalam dua dominan, yaitu dominan spektral dan dominan spasial. Pada prinsipnya setiap benda dengan temperatur diatas 0 kelvin mematulkan dam atau memancarkan gelombang elektromagnetik. Apabila pada suatu luasan tertentu terdapat beberapa jenis benda maka masing-masing benda akan memberikan pantulan dan atau pancaran elektromagnetik yang dapat diterima oleh suatu sensor. Dengan demikian kehadiran suatu benda dapat dideteksi berdasarkan pantulan atau pancaran elektromagnetik yang dilakukan oleh benda itu, asal karakteristik pantulan/pancaran elektromagnetiknya telah diketahui.
3.1.2 Pemilihan Spektrum
Berdasarkan penelitian eksperimental dengan menggunakan spektrometer tersebut, suatu sistem sensor yang beroperasi pada julat panjang gelombang yang lebih sempit dapat dirancang. Jumlah dan lebar spektrumnya dapat diukur sedemikian rupa sehingga citra yang dihasilkan dapat menyajikan perbedaan objek yang diinginkan tanah basah dengan tanah kering, air keruh dengan air jernih, vegetasi sehat dengan vegetasi tak sehat, dan sebainya.
Perbedaan utama antara spektometer dengan sensor yang dirancang terletak pada selang (interval) spektrum yang digunakan dan juga cara operasinya. Spektrometer untuk penelitian eksperimental biasanya dapat diatur untuk bekerja dengan interval panjang gelombang yang sangat pendek/sempit, bahkan sampai kurang dari 0,01µm. Sensor operasional pada mulanya justru sebaliknya, dirancang untuk beroperasi pada julat yang tetap, misalnya pada 0,44-0,51 µm: 0,52-0,60; 0,61-0,68 µm; dan seterusnya. Masing-masing julat ini akan menghasilkan citra sehingga sensor dengan n spektra akan menghasilkan n citra objek yang sama, namun dengan variasi spektral yang berbeda. Baru dalam satu dekade terakhir ini berbagai sensor hiperspektral dapat dijumpai, yang mampu menghasilkan data pada lebar spektrum yang sangat sempit dan dengan jumlah saluran spektral yang sangat banyak.
3.2 DASAR FISIKA PENGINDERAAN JAUH
Pembicaraan mengenai gelombang elektromagnetik secara garis besar belum memadai, apabila pakai sistem penginderaan jauh berniat terjun lebih ke sistem yang berbasis digital. Konsep-konsep dasar tentang fisika penginderaan jauh perlu dikemukakan sedikit lebih mendalam karena dengan pemahaman ini proses analisis citra digital dapat dilaksanakan dengan lebih baik. Meskipun demikian, cara operasi sistem penginderaan jauh sebenarnya sangat bervariasi karena tergantung pada banyak hal, antara lain waha (platform) yang digunakan, sensor yang meliputi komponen-komponen optik-elektronik dan detektor dan detektor yang mencatat respons spektral yang datang dari objek, serta cara analisis datanya.
3.2.1 Radiasi Elektromagnetik (REM)
Radiasi elektromagnetik adalah kombinasi medan listrik dan medan magnet yangberosilasi dan merambat melewati ruang dan membawa energi dari satu tempat ke tempat yang lain. Cahaya tampak adalah salah satu bentuk radiasi elektromagnetik. Penelitian teoretis tentang radiasi elektromagnetik disebutelektrodinamik, sub-bidang elektromagnetisme.
Gelombang elektromagnetik ditemukan oleh Heinrich Hertz. Gelombang elektromagnetik termasuk gelombang transversal.
Setiap muatan listrik yang memiliki percepatan memancarkan radiasi elektromagnetik. Ketika kawat (atau panghantar seperti antena) menghantarkanarus bolak-balik, radiasi elektromagnetik dirambatkan pada frekuensi yang sama dengan arus listrik. Bergantung pada situasi, gelombang elektromagnetik dapat bersifat seperti gelombang atau seperti partikel. Sebagai gelombang, dicirikan oleh kecepatan (kecepatan cahaya), panjang gelombang, dan frekuensi. Kalau dipertimbangkan sebagai partikel, mereka diketahui sebagai foton, dan masing-masing mempunyai energi berhubungan dengan frekuensi gelombang ditunjukan oleh hubungan Planck E = Hf, di mana E adalah energi foton, h ialah konstanta Planck — 6.626 × 10 −34 J·s — dan f adalah frekuensi gelombang.
Einstein kemudian memperbarui rumus ini menjadi Ephoton = hf.

3.2.2 Radiometri
Konsep radiometri melibatkan beberapa istilah yag sering dipakai dalam penginderaan jauh berikut ini : (a) energi radiometri, (b) fluks radian, (c) kepadatan fluks radian, (d) irradiansi, (e) intensitas radian, dan (f) radiansi dan radiansi spektral
a.       Energi radiometri (Q)
merupakan suatu ukuran kapasitas radiasi untuk melakukan kerja, memindahkan onjek, atau menimbulkan perubahan kondisi objek. Satuan energi radian ialah Joule (J)  atau kiloWatt (KWh).
b.      Fluks radian (O)
Merupakan laju aluran energi per satuan waktu dalam melewati suatu titik.
c.       Kepadatan fluks radian (radiant flux density, E atau M)
Adalah ukuran besarnya fluks radian yang mengalir melewati suatu luas permukaan tertentu.
d.      irradiansi
Kepadatan fluks radian yang mencapai suatu  permukaan disebut irradiansi (irradiance, E), sedangkan kepadatan fluks radian yang dipancarkan oleh permukaan disebut eksitansi (exitance, M). E dan M mempunyai satuan Watt m-2.
e.       Intensitas radian
Merupakan ukuran fluks radian per satuan sudutpadat (solid angle) yang meninggalkan sumber berupa titik. Energi radian yang meninggalkan sumber titik dan diradiasikan ke semua arah akan mempunyai kepadatan fluks radian yang terus menyusut, meskipun intensitasnya tidak berkurang.
f.       Radiansi (L) dan radiansi spektral
Merupakan fluks radian per satuan padat yang meninggalkan suatu sumber yang relatif luas ke arah tertentu, per satuan luas hasil proyeksi dari sumber tadi. Biala sumber yang relatif luas diamati dengan sensor pada sudut kerucut O maka apabila R meningkat, luas sumber juga akan meningkat sehingga radiansi L yang mencapai area detektor A akan tetap (konstan), untuk konstanta t, sepanjang kepadatan fluksnya juga konstan terhadap sumber yang relatif tadi.semua istilah yang digubakan dalam radiometri energi elektromagnetik tadi bersifat tergantung pada panjang gelombang sehingga dalam penggunaan biasanya istilah tersebut disertai dengan kata ‘spektral’ misalnya radiansispektal L, yang mempunyai yang mempunyai satuan W m-2  nm-1.



3.2.3 Efek Atmosfer
  Absorbsi
Absorbsi dapat disebabkan oksigen dalam atmosfer, hujan dan kabut. Hal ini menyebabkan energi yang dipropagasikan mengalami redaman (atenuasi meningkat0. hujan yang lebat menyebabkan atenuasi dapat meningkat 1 dB/km pada gelombang yang berfrekuensi 6-10 GHz, dan untuk gelombang dengan frekuensi lebih dari 10 GHz dapat meningkat sampai 10 dB/km.
-  Refraksi (pembiasan)
Hal ini terjadi karena pengaruh perubahan temperatur, kelembaban dan kerapatan atmosfer refraksi dapat menyebabkan penyimpangan berkas gelombang mikro dari sinyal yang merambat. 
-  Jebakan atmosfer (duct)
Ini terjadi karena kondisi temperatur dan kerapatan atmosfer yang bervariasi. Di sini berkas gelombang mikro hanya terpantul-pantul di suatu daerah tertentu pada atmosfer, terjebak dan sulit dipropagasikan.
3.2.4 Interaksi REM dengan Benda
Energi matahri mengalami atenuasi dan dihamburkan oleh atmosfer sebelum mencapai permukaan bumi atau penutup lahannya. Dengan demikian tersebut sebenarnya mengalami tiga macam perlakuan, yaitu pemantulan, penyerapan, dan transmisi. Kondisi ini dirumuskan sebagai berikut :
Eiλ = E a, λ + Er, λ + E r,λ
       = Ei,λ (aλ + rλ + Tλ ................................................... (3.16)
      → a λ + r λ + t λ = 1 ....................................................(3.17)
Dimana E mewakili energi spektral yang diserap, dipantulkan dan ditansmisikan; sedangkan a,r dan t berturut-turut adalah serapan,pantulan, dan transmitansi spektral. Karena sensor penginderaan jauh terpasang pada jarak yang jauh dari objek maka diantara tiga komponen itulah pantulanlah yang langsung berkaitan denga detektor. Dengan demikian, pantulan rλ merupakan aspek yang paling penting dalam penginderaan jauh.
3.3 SENSOR-SENSOR ELEKTRO-OPTIK UNTUK PENGINDERAAN JAUH
Hingga saat ini kebanyakan sensor yang digunakan untuk sistem penginderaan jauh merupakan sensor sistem pasif, yaitu sensor yang menangkap energi pantulan atau pancaran gelombang elektromagnetik dari objek, tanpa mengirim gelombang ke arah objek-objek tersebut.
3.3.1 Jenis-jenis Sensor Multispektral Elektro-optik
Mengacu pada kategorisasi Vicent (1997), pada dasarnya ada tiga macam sensor pencitra elektro-optik yang digunakan untuk keperluan komersial (sipil) dalam pengumpulan data multispektral, yaitu:
1.      Skanner multispektral yang beroperasi seperti menyapu secara melintang (whiskroom).Lillesand et al. (2008) memberi istilah across-track scanner untuk mekanisme semacam ini. Skaner ini memindai dari sisi ke sisi tegak lurus terhadap jalur lintasan wahana, membentuk baris-baris pelarikan yang tersusun atas piksel-piksel. Gerak maju wahana yang terkombinasi dengan gerak sapuan melintang ini menghasilkan baris-baris pelarikan baru.
2.      Skaner deret linier (linear array scanner) yang beroperasi seperti sapu dorong (pushbroom) mengumpulkan informasi pantulan atau pancara objek dalam bentuk deretan piksel dalam satu baris sekaligus, gerak maju wahana dengan sendirinya akan menghasilkan deretan piksel yang baru, tanpa mekanisme gerak sapuan melintang.
3.      Skaner deret dua dimensional menngunakan deret detektor dua dimensi seperti frame pada film kamera.
Semua tipe sensor elektro-optik tersebut memperkuat sinyal elektromagnetik yang diterima, kemudian mendigitasasikannya ke dalam angka-angka biner sesuai dengan tingkat kemampuan bit-coding yang dimilikinya ketika masih berada di wahana.
3.3.2        Prinsip Pemisahan Berkas Cahaya pada Sensor Multispektral Elektro-optik
Skaner multispektral memisahkan (membagi) berkas cahaya yang datang pada suatu wilayah panjang gelombang yang lebar menjadi berkas-berkas dengan lebar spektra yang lebih sempit.
Menurut Vincent (1997), piranti yang diperlukan sensor dalam hal ini dapat berupa prisma,filter transmisi, ataupun lensa/cermin dikhroik. Lensa dikhroik mampu meloloskan sinar dengan panjang gelombang yang lebih besar daripada suatu nilai ambang, dan memantulkan sinar-sinar yang lain, yang mempunyai panjang gelombang lebih kecil, atau sebaliknya.
3.4       SISTEM SATELIT PENGINDERAAN JAUH
Satelit tak berawak sebagai wahana penyadap informasi dari permukaan bumi telah mulai dikembangkan sejak awal tahun ‘60an. Aplikasi utamanya adalah bidang kemiliteran. Baru pada awal dekade ’70-an, satelit tak berawak diluncurkan untik pengamatan sumberdaya bumi, yaitu ERTS-1. Peluncuran ini diikuti oleh peluncuran satelit sumberdaya lain, dan juga pengembangan  sistem pengolahan datanya.Boleh dikata, mulai saat itulah teknologi di bidang pengolahan citra dikembangkan secara lebih serius.
3.4.1 Sistem Landsat
Satelit Landsat (land satelite)
Citra Landsat TM merupakan salah satu jenis citra satelit penginderaan jauh yang dihasilkan dari sistem penginderaan jauh pasif. Landsat memiliki 7 saluran dimana tiap saluran menggunakan panjang gelombang tertentu. Satelit landsat merupakan satelit dengan jenis orbit sunsynkron (mengorbit bumi dengan hampir melewati kutub, memotong arah rotasi bumi dengan sudut inklinasi 98,2 derajat dan ketinggian orbitnya 705 km dari permukaan bumi. Luas liputan per scene 185 km x 185 km. Landsat mempunyai kemampuan untuk meliput daerah yang sama pada permukaan bumi pada setiap 16 hari, pada ketinggian orbit 705 km (Sitanggang, 1999 dalam Ratnasari, 2000). Fungsi dari satelit landsat adalah untuk pemetaan penutupan lahan, pemetaan penggunaan lahan, pemetaan tanah, pemetaan geologi, dan pemetaan suhu permukaan laut.
 Salah  satu contoh citra satelit Landsat
3.4.2        Sistem SPOT
Satelit SPOT (systeme pour I’observation de la terre)
Merupakan satelit milik perancis yang mengusung pengindera HRV (SPOT1,2,3,4) dan HRG (SPOT5). Satelit ini mengorbit pada ketinggian 830 km dengan sudut inklinasi 80 derajat. satelit SPOT memiliki keunggulan pada sistem sensornya yang membawa dua sensor identik yang disebut HRVIR (haute resolution visibel infrared). Masing-masing sensor dapat diatur sumbu pengamatanya kekiri dan kekanan memotong arah lintasan satelit merekam sampai 7 bidang liputan. Fungsi dari satelit SPOT adalah untuk akurasi monitoring bumi secara global.

 Salah satu contoh citra satelit SPOT
3.4.3        Sistem NOAA
Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)
Satelit NOAA merupakan satelit meterologi generasi ketiga milik ”National Oceanicand Atmospheric Administration” (NOAA) Amerika Serikat. Munculnya satelit ini untukmenggantikan generasi satelit sebelumnya, seperti seri TIROS (Television and Infra Red Observation Sattelite, tahun 1960-1965) dan seri IOS (Infra Red Observation Sattelite,tahun 1970-1976). Konfigurasi satelit NOAA adalah pada ketinggian orbit 833-870 km,inklinasi sekitar 98,7 ° – 98,9 °, mempunyai kemampuan mengindera suatu daerah 2 x dalam 24 jam (sehari semalam).

Seri NOAA ini dilengkapi dengan 6 (enam) sensor utama, yaitu :
1. AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer);
2. TOVS (Tiros Operational Vertical Sonde);
3. HIRS (High Resolution Infrared Sounder (bagian dari TOVS);
4. DCS (Data Collection System)
5. SEM (Space Environtment Monitor);
6. SARSAT (Search And Rescue Satelite System)
            Satelit NOAA digunakan untuk membuat peta suhu permukaan laut (Sea Surface Temperature Maps/SST Maps), monitoring iklim, studi El Nino, dan deteksi ars laut untuk memandu kapal-kapal pada dasar laut dengan ikan berlimpah.
3.4.4        Sistem satelit Pemantau Laut dan Pesisir
Sistem satelit yang dikhususkan untuk pemantauan laut dan pesisir antara lain meliputi Satelit Nimbus-7 milik Amerika Serikat yang membawa CZCS (Coastal zone color scanner); MOS (Marine Observation Satellite) milik Jepang yang membawa 3 macam instrumen, yaitu MESSR, VTIR, dan MSR; serta Sea WIFS (Sea-viewing Wide Field of-view Sensor) milik Amerika Serikat. Sensor CZCS yang dibawa oleh satelit Nimbuz-7 diluncurkan pada 1978. Misi satelit ini dikhususkan pada pemantauan temperatur dan warna perairan pantai laut, sebagai indikator kondisi wilayah perairan yang diamati. Pada sensor ini terdapat 6 saluran spektral, membentang dari spektrum biru hingga inframerah termal. Citra 6 saluran yang dihasilkan mempunyai resolusi spasial 825 meter pada posisi nadir dan lebar sapuan sebesar 1566 km.
3.4.5        Sistem IRS milik India
  The Indian Remote Sensing (IRS) IRS adalah sistem satelit untuk meyediakan informasi manajemen sumberdaya alam yang berharga. Fungsi dari citra satelit ini adalah untu perencanaan perkotaan dan manajemen bencana.
3.4.6        Sistem Satelit Multimisi : Terra dan Aqua
NASA Earth Observing System mengembangkan satelit Terra dan Aqua sebagai bagian dari upaya mengumpulkan informasi melalui observasi komprehensif secara global (Aronoff, 2005). NASA bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan dan Industri Jepang (MITI) mengembangkan sistem sensor yang kemudian dipasang pada satelit multimisi Terra.
Sensor ASTER
Sensor ASTER merupakan salah satu alternatif untuk kajian pada resolusi menengah di samping Landsat dan SPOT, apalagi ketika hingga saat ini Landsat & ETM+ tetap mengalami kerusakan dan beroperasi dengan moda SLC-off, sedangkan pemerintah Amerika Serikat belum mempunyai rencana untuk mengembangkan sistem lanjutannya, sensor ASTER punya tiga modul subsistem mulyispektral yang berbeda, masing-masing adalah VNIR (Visible and near infrared), SWIR (Shortwave Infrared), dan TIR (Thermal Infrared).
Sensor MODIS
MODIS merupakan sensor dengan mekanisme pemindaian melintang arah gerak orbit (aross-track scanning). Sensor ini terpasang pada satelit Terra dan Aqua, dan dirancang untuk mengukur sifat-sifat fisik atmosfer serta sifat-sifat fisik daratan dan lautan. MODIS juga dirancang sedemikian rupa sehingga mampu membangun rekaman data secara kontinu seperti yang telah dilakukan oleh pendahulunya, misalnya AVHRR NOAA yang telah diluncurkan sejak 1979. Meskipun demikian, MODIS mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan teknologi AVHRR yang relatif kuno, misalnya dalam hal resolusi spasial, kepekaan radiometri reaktifikasi geometri, serta kalibrasi radiometri yang lebih akurat (Aronoff,2005). Lebih dari itu, MODIS dapat diperoleh secara gratis dari satelitnya langsung, ataupun diunduh dari Internet. Dengan lebar sapuan 2.330 km, MODIS mampu meliput seluruh permukaan bumi dalam satu-dua hari, dan menyajikannya dalam 36 saluran spektral, berkisar dari 0,46 hingga 14,38µm. MODIS juga memberikan informasi dalam resolusi spasial yang bervariasi, dari 250m hingga 1 km.
3.4.7        Sistem satelit ALOS
Satelit ALOS
Jepang merupakan salah satu negara dengan teknologi satelit penginderaan jauh terdepan selain negara maju lainnya seperti Amerika, Kanada, serta konsorsium negara-negara Eropa dengan European Space Agency (ESA).
Di Asia, selain Jepang, negara yang cukup mumpuni dengan teknologi satelit penginderaan jauh adalah China dan India. Sedangkan Brazil menjadi negara dengan penguasaan teknologi satelit penginderaan jauh yang paling menonjol di wilayah Amerika Latin. Jepang menjadi salah satu yang paling inovatif dalam pengembangan teknologi satelit penginderaan jauh setelah diluncurkannya satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) atau dikenal dengan ’Daichi’ pada tanggal 24 Januari 2006.
Satelit berbobot 4000 kg ini diluncurkan dari pusat peluncuran Tanegashima yang mengorbit dengan ketinggian sekitar 700 km di atas permukaan bumi. Misi ALOS adalah untuk mencari pemecahan masalah lokal (local issue) seperti ketahanan pangan (food security), kelangkaan sumber air, mitigasi bencana dan konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity).
Adapun tujuan yang ingin dicapai satelit generasi terbaru produk negeri Sakura ini terdiri dari 5 (lima) yaitu (1). membuat peta (cartography) seluruh wilayah Jepang termasuk negara lainnya di dunia, (2). mengamati pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan harmonisasi antara lingkungan bumi dan perkembangan regional, (3). memonitor bencana (disaster monitoring), (4). melakukan survei sumber daya alam, (5). mengembangkan teknologi yang terkait dengan satelit pengamat bumi masa depan. Karena keragaman target ALOS ini maka dapat dikatakan satelit penginderaan jauh ini punya kemampuan multi-guna.
Spesifikasi ALOS
ALOS mempunyai tiga instrumen yaitu PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping) untuk pemetaan dijital elevasi (ketinggian) sehingga dapat menghasilkan data ketinggian. Instrumen yang kedua adalah AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer) untuk pengamatan lahan secara teliti serta instrument PALSAR (Phased Array type L-Band Synthetic Aperture Radar). Sesuai dengan namanya instrumen ini dapat menghasilkan data SAR atau radar.
Ø  PRISM dapat memberikan resolusi spasial 2,5 m dan memproduksi model permukaan dijital (digital surface model) secara akurat. Instrumen ini punya tiga jenis sistem optik untuk melihat ke depan (forward), belakang (backward) dan pada nadir. Dengan kemampuan ini PRISM dapat menghasilkan citra stereo. Sensor ini dapat merekam dengan lebar sapuan sampai 70 km pada nadir.
Ø  AVNIR-2 didesain khusus untuk mengamati lahan dan wilayah pesisir, merupakan pengembangan dari AVNIR yang dipasang pada satelit sebelumnya ADEOS (Advanced Earth Observing Satellite) tahun 1996. Sensor ini memberikan peta cakupan dan tutupan lahan pada skala regional dengan resolusi yang lebih baik dibanding sebelumnya. Resolusi spasial AVNIR-2 mencapai 10 m, lebih baik dibandingkan resolusi spasial AVNIR yang hanya 16 m.
Ø  PALSAR memanfaatkan rentang gelombang mikro pada frekuensi band-L yang dapat menembus awan dan dapat melakukan pengamatan siang maupun malam bahkan dalam kondisi cuaca buruk sekalipun. Instrumen ini memberikan data radar yang lebih baik dibanding satelit radar generasi sebelumnya, JERS-1 (Japanese Earth Resources Satellite). PALSAR dapat memberikan keuntungan dalam cakupan pengamatan mulai dari 250 – 350 km yang disebut dengan ScanSAR. Keuntungan ini juga dimiliki oleh satelit milik Kanada, RADARSAT.
Keunggulan ALOS
Jepang secara konsisten mengembangkan teknologi satelit penginderaan jauhnya selama kurang lebih 20 tahun terakhir. Dan hasilnya pun sangat memuaskan dengan diluncurkannya beberapa satelit generasi terbarunya termasuk ALOS. ALOS menjadi andalan dan kebanggaan Jepang karena satelit ini dapat memuaskan konsumennya di seluruh dunia. Kenapa? Karena ALOS dapat memberikan data optik dan data radar sekaligus. Data optik sangat sensitif dan punya kemampuan tinggi dalam menggambarkan suatu obyek (visualization) tetapi sangat rentan jika pada saat perekaman terdapat cakupan awan (cloud cover). Akan tetapi dengan data radar keberadaan awan dapat diatasi, selain itu dengan data radar karakteristik fisik lebih mudah diamati dibanding dengan data optik. Kombinasi penggunaan data optik dan radar akan memberikan hasil analisis yang lebih baik dibandingkan hanya menggunakan salah satu diantara kedua jenis data tersebut.
Pada umumnya satelit penginderaan jauh hanya didesain untuk dapat memberikan data optik saja atau data radar saja. Seperti data optik dari satelit penginderaan jauh SPOT milik Perancis yang berkonsorsium dengan beberapa negara Eropa lainnya atau satelit RADARSAT milik Kanada yang hanya dapat memberikan data radar saja. Selain itu ALOS dapat juga memberikan data stereo (stereo mapping) dan dapat mencakup wilayah dengan luas sampai ratusan kilometer.
Aplikasi ALOS
Sejak diluncurkan tahun 2006, ALOS memasuki fase setelah operasi (tiga tahun setelah peluncuran). ALOS sudah digunakan untuk berbagai tujuan seperti pemetaan dan observasi kondisi es di laut (sea ice), keberadaan hutan, mitigasi bencana, kondisi permukaan laut (kecepatan angin) dan wilayah pesisir (mangrove, terumbu karang),  serta pengamatan sumber daya alam terutama yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable).
Khusus untuk pengamatan kondisi hutan, ALOS sudah merekam sebagian kondisi hutan Indonesia tahun 2008 di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, sebagian Maluku dan Irian termasuk New Guinea (lihat gambar 2). Peta hutan ini dibuat dari data PALSAR yang dibentuk menjadi citra ortho dengan resolusi spasial 50 meter.
Selain untuk pemetaan kondisi hutan Indonesia, aplikasi lain yang juga sangat penting yang terkait dengan kerusakan lingkungan di wilayah pesisir adalah kondisi terumbu karang. Dengan AVNIR-2, distribusi terumbu karang dapat divisualisasikan dengan kombinasi band cahaya tampak (visible band) melalui algoritma tertentu. Fusi citra AVNIR-2 dengan data PALSAR akan memberikan kajian yang lebih baik terkait sebaran terumbu karang yang ada. Jika dilengkapi hasil pengamatan lapangan dan data penginderaan jauh lainnya seperti data hiperspektral (hyperspectral) maka tidak hanya distribusi terumbu karang saja yang bisa dianalisa tetapi juga sehat tidaknya terumbu karang tersebut. Data hiperspektral dapat memberikan informasi atau kerincian spektral lebih detil dibandingkan menggunakan data multispektral (seperti AVNIR-2). (Ketut Wikantika, dari berbagai sumber).
3.4.8        Sistem Satelit dengan Resolusi Spasial tinggi
Pada 1994 pemerintah Amerika Serikat untuk mengambil keputusan untuk mengizinkan perusahaan sipil komersial untuk memasarkan data penginderaan jauh resolusi tinggi, yaitu antara 1-4meter (Jensen, 1996) hal ini kemungkinan berkaitan dengan berakhirnya era perang dingin. Segera setelah itu, Earth Watch Inc, suatu perusahaan swasta yang bergerak di bidang sistem kajian sumberdaya, merencanakan pengembangan dua sistem resolusi tinggi yaitu EarlyBird dan QuickBird.

3.4.9        Satelit dengan Sensor Gelombang Mikro : Radarsat, Almaz, ERS, JERS, dan ALOS
Satelit dengan sensor gelombang mikro aktif yang menggunakan teknik perekaman menyamping paling menonjol ialah Radarsat milik Kanada, ERS-1 milik Eropa, dan JERS-1 milik Jepang. Sebelum sensor radar ini dioperasikan wahana satelit, percobaan telah dilakukan secara ekstensif menggunakan pesawat udara (SLAR) dan pesawat ulang-alik (SIR-A, SIR-B, dan SIR-C). Uraian ekstensif mengenai sistem radar ini dapat dibaca pada Lillesand et al. (2008) serta Sabins (1997).
Radarsat pertama kali diluncurkan pada 4 November 1995. Satelit ini melakukan liputan lengkap dalam 14 orbit sehari secara sinkron matahari resolusi temporalnya ialah 6 hari. Salah satu misi utama dari peluncuran satelit ini ialah memantau kondisi es di Laut Arktik selama periode gelap (musim dingin) dan selama kondisi medan tertutup oleh awan.
Almaz merupakan satelit bersensor radar milik  Rusia, yang diluncurkan pada 31 Maret 1991. Sensor Almaz bekerja seperti sistem SLAR pada pesawat udara, yang merekam citra pada film holografi yang kemudian dikonversi ke film citra.
ERS-1 merupakan satelit milik Eropa yang mengoperasikan sensor, antara lain SAR (synthetic apperture radar) dan ATSR (along-track scanning radiometer). SAR pada ERS-1 beroperasi dengan polarisasi VV (vertikal pada energi datang, vertikal pada energi pantul) melalui antenna SAR berukuran 10 x 10 meter dan dengan sudut depresi yang curam (67o), untuk mendukung aplikasi oseanografi (Sabins,1997).
3.5       Sistem Skaner Multispektral dengan pesawat udara
Sebenarnya sistem skaner multispektral dengan pesawat udara telah lebih dahulu dikembangkan dari pada sistem skaner pada wahana ruang angkasa.Richards (1993) menyebutkan tiga macam perbedaan utama antara sistem skaner multispektral pesawat udara dengan sistem skaner multispektral satelit,yaitu :
1.      Volume data yang dihasilkan oleh sistem pesawat udara pada umumnya lebih besar. Hal ini disebabkan oleh jumlah saluran yang lebih banyak, yaitu dapat mencapai 12 buah. Di samping itu, resolusi spasial yang dihasilkan jauh lebih tinggi;
2.      Medan perang sensor (FOV, field of view) pada umumnya jauh lebih besar (bila diukur dengan derajat) karena tinggi terbang pesawat jaub lebih rendah daripada satelit. FOV pada sistem skaner pesawat terbang dapat mencapai sekitar 70-90o sedangkan sistem satelit Landsat 4 dan 5 misalnya, hanya sekitar 15o.
3.      Stabilitas kedudukan sensor pada sistem skaner pesawat udara pada umumnya jauh lebih rendah. Hal ini dapat dimengerti karena gangguan stabilitas pada pesawat udara memang lebih banyak, yang disebabkan oleh turbelensi udara,angin,perbedaan tekanan udara dan sebagainya.

3.5.1                 DAEDALUS AADS 1240/1260
Skaner garis multispektral Daedalus AADS 1240/1260 merupakan sistem skaner pesawat udara yang paling banyak digunakan. Proses pelarikan terjadi melalui meknisme pemutaran cermin, seperti haknya sensor MSS dan TM Landsat.

3.5.2                 Airborne Thematic Mapper (ATM)
Sebelum peluncuran Landsat-D yang membawa sensor TM pada 1982, banyak percobaan telah dilakukan untuk simulasi sensor tersebut dengan ATM. Hingga saat ini, ketika data digital TM Landat sudah relatif murah diperoleh, sensor simulasi ini pun masih terus digunakan untu kepentingan eksperimental yang lebih sesuai dengan kebutuhan penelitian.

3.5.3                 MDA MEIS-II
Pusat penginderaan jauh kanada telah mengembangkan skaner berwahana pesawat udara yang memanfaatkan teknologi line array yang dapat digunakan untuk melarik tanpa cermin putar. Teknologi ini sama dengan yang dikembangkan oleh CNES, Prancis, untuk sensor HRV SPOT, yaitu model pushbroom scanner.

3.6                       Pencitraan Hiperspektral
Berbagai penelitian lanjut dalam karakteristik objek spektral telah memberikan kesimpulan bahwa penggunaan spektrum yang sempit ternyata mampu menonjolkan perbedaan objek secara lebih baik bila dibandingkan dengan penggunaan spektrum yang relatif lebar, seperti yang digunakan pada MSS dan TM-Landsat, HRV-SPOT, ataupun AVHRR-NOAA.

3.6.1                 Pencitraan Hiperspektral dari Udara
Sistem pencitra hiperspektral yang termasuk paling awal dikembangkan ialah AIS (Airborne Imaging Spectrometer). AIS mampu mengumpulkan data dalam 128 saluran spektral dengan lebar spektral rata-rata sekitar 9,3nm. Untuk moda ‘pohon’ AIS mengumpulkan data dalam saluran kontinu antara 0,4-1,2µm; sedangkan untuk modus ‘batuan’, sistem ini menumpulkan informasi antara 1,2-2,4µm.

3.6.2                 Pencitraan Hiperspektral melalui satelit
Sensor Hyperion merupakan salah satu sistem sensor hiperspektral yang paling awal dipasang pada satelit. Bahkan lebih dahulu pada MERIS pada Envisat 1. Sebenarnya Satelit EO-1 (Earth Obsetver-1) yang diluncurkan pada 21 November 2000 dan mengorbit pada ketinggian 705 km di atas bumi serta mengorbit sinkron matahari langsung sensor Hyperion ALI (Advanced Land Imager) dan LEISA (Linear Imaging Spectrometer Array).

3.7                       SISTEM PENCITRAAN SENSOR AKTIF DENGAN LASER : LIDAR
Pengertian LIDAR
LIDAR (Light Detection and Ranging) adalah sebuah teknologi sensor jarak jauh menggunakan properti cahaya yang tersebar untuk menemukan jarak dan informasi suatu obyek dari target yang dituju. Metode untuk menentukan jarak suatu obyek adalah dengan menggunakan pulsa laser. Seperti teknologi radar, yang menggunakan gelombang radio, jarak menuju obyek ditentukan dengan mengukur selang waktu antara transmisi pulsa dan deteksi sinyal yang dipancarkan.
Laser
Laser (singkatan dari bahasa Inggris: Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation) merupakan mekanisme suatu alat yang memancarkan radiasi elektromagnetik, biasanya dalam bentuk cahaya yang tidak dapat dilihat maupun dapat lihat dengan mata normal, melalui proses pancaran terstimulasi. Pancaran laser biasanya tunggal, memancarkan foton dalam pancaran koheren. Laser juga dapat dikatakan efek dari mekanika kuantum. Dalam teknologi laser, cahaya yang koheren menunjukkan suatu sumber cahaya yang memancarkan panjang gelombang yang diidentifikasi dari frekuensi yang sama, beda fase yang konstandan polarisasinya. Selanjutnya untuk menghasilkan sebuah cahaya yang koheren dari medium lasing adalah dengan mengontrol kemurnian, ukuran, dan bentuknya. Keluaran yang berkelanjutan dari laser dengan amplituda-konstan (dikenal sebagai CW atau gelombang berkelanjutan), atau detak, adalah dengan menggunakan teknik Q-switchingmodelocking, atau gain-switching.
Laser, mempunyai karakteristik yang berbeda dengan cahaya biasa:
•Monokromatik (panjang gelombang yang sangat spesifik, satu warna spesifik)
•Koheren (‘organized’ foton)
•Direksional (cahaya laser terfokus dan kuat)
Prinsip Kerja Lidar
Prinsip kerja LIDAR secara umum adalah sensor memancarkan sinar laser pada target kemudian sinar tersebut dipantulkan kembali ke sensor. Berkas sinar yang ditangkap kemudian dianalisis oleh peralatan detector. Perubahan komposisi cahaya yang diterima dari sebuah target ditetapkan sebagai sebuah karakter objek. Waktu perjalanan sinar saat dipancarkan dan diterima kembali diperlukan sebagai variable penentu perhitungan jarak dari benda ke sensor.
Untuk mendapatkan gambar, dilakukan penyiaman pada lokasi yang ditentukan. Penyiaman dilakukan dengan memasang laser scanner, GPS, dan INS pada wahana yang dipilih. Berdasarkan skala produk yang diinginkan dan luas cakupan, maka dapat ditentukan jalur terbang. Pada jalur terbang yang telah ditentukan tersebut wahana terbang melaukan penyiaman (scanning). Pada saat laser scanner melakukan penyiaman sepanjang jalur terbang, pada setiap interval waktu tertentu direkam posisinya dengan menggunakan GPS dan orientasinya dengan menggunakan INS. Proses ini dilakukan sampai jalur yang disiam selesai.   
Komponen- komponen LIDAR
a)      Global Positioning System (GPS)
Dalam system LIDAR, GPS dipakai sebagai system penentuan posisi wahana terbang secara 3D (X, Y, Z atau L, B, h) terhadap system referensi teretentu ketika melakukan survey LIDAR. Penentuan posisi dilakukan secara differensial sehingga bias mengamati posisi objek yang diam atau bergerak.
Karena pengukuran posisinya dilakukan secara real time maka metode penentuan GPS itu dinamakan Real Time Kinematics Differential GPS (RTK-DGPS). Ketelitian tipikal posisi yang diperoleh adalah 2 – 5 cm. Data GPS yang dihasilkan, digabungkan dengan data IMU sehingga diperoleh koordinat terdefinisi secara geografis.
b)      Inertial Navigation System (INS)
INS adalah suatu system navigasi yang mampu mendeteksi perubahan geografis, perubahan kecepatan, serta perubahan orientasi dari suatu benda. Sistem ini mampu mengukur besar perubahan sudut orientasi wahana terbang terhadap arah utara, besar pergerakan sudut rotasi wahana terbang terhadap sumbu-sumbu horisontalnya, percepatan wahana terbang, hingga temperature dan tekanan udara di sekitar wahana terbang. Dari hasil pengukuran yang dapat dilakukan oleh INS, dapat dihasilkan informasi berupa orientasi tiga dimensi serta posisi wahana terbang.
c)      Sensor Laser
Sensor LIDAR berfungsi untuk memancarkan sinar laser ke objek dan merekam kembali gelombang pantulannya setelah mengenai objek. Pada umumnya gelombang yang dipancarkan oleh sensor terdiri atas dua bagian, yaitu gelombang hijau dan gelombang infra merah. Gelombang hijau berfungsi sebagai gelombang penetrasi jika suatu sinar laser mengenai daerah perairan. Sinar hijau berfungsi untuk mengukur data kedalaman, sedangkan sinar infra merah berfungsi untuk mengukur data topografi daratan atau permukaan bumi. Kekuatan sensor LIDAR sangat erat kaitannya dengan:
1)      Kekuatan sinar laser yang dihasilkan
2)      Cakupan dari pancaran sinar gelombang laser
3)      Jumlah sinar laser yang dihasilkan tiap detik
Sensor LIDAR memiliki kemampuan dalam pengukuran multiple return. Multiple return digunakan untuk menentukan bentuk dari objek atau vegetasi yang menutupi permukaan tanah. Gelombang yang dipancarkan dan dipantulkan tidak hanya mengenai permukaan tanah, tetapi juga mengenai objek-objek yang ada di atas permukaan tanah. Masing-masing pantulan yang dihasilkan diukur intensitasnya, sehingga diperoleh gambaran atau bentuk dari objek yang menutupi permukaan tanah tersebut.

Pengolahan Data LIDAR
Setelah data mentah dari IMU, GPS, dan jarak laser diperoleh, tahap selanjutnya adalah pengolahan data secara post processing. Yang harus dilakukan selama post processing adalah: Mendownload data carrier phase GPS yang dihasilkan oleh base station dan receiver yang ada pada pesawat. Data ini kemudian diolah dengan menggunakan software GPS post processing yang akan menghitung solusi akurasi kinematik sepanjang lintasan pesawat. Membuang data yang tidak relevan yang dikumpulkan selama pengambilan data. Untuk menentukan kedalaman, sinar laser dipancarkan dari pesawat udara ke bawah dengan sudut θa (θudara) dari garis vertikal. Sudut θa merupakan sudut datang pada permukaan air dari udara. Pada permukaan air ini, sebagian kecil dari energi laser dipantulkan ke udara pada segala arah yang akan diterima kembali oleh receiver di pesawat udara. Sedangkan sebagian besar (98%) energi laser ditransmisikan ke dalam air dengan sudut θw.

Proses Georeferensi Data LIDAR
Proses georeferensi adalah suatu proses atau tahapan untuk mendefinisikan koordinat pusat proyeksi sinar laser sehingga terdefinisi ke suatu sistem koordinat. Vektor dari jarak yang ditembakkan dengan sudut penyiaman η didefinisikan terhadap kerengka referensi dari instrumen laser. Jarak yang dihasilkan laser tersebut kemudian ditransformasikan ke pusat bumi yang direalisasikan melalui sistem WGS 84.

Kelebihan Teknologi LIDAR
LiDAR manggunakan gelombang aktif sehingga akuisisi laser pun dapat dilakukan malam hari. Tapi karena dalam paket system LiDAR sekarang sudah include dengan sensor kamera (gelombang pasif) yang hanya bisa pekerja baik pada siang hari, maka akuisisi hanya dapat dilakukan siang hari supaya kedua sensor dapat bekerja.
Sistem LiDAR dapat melakukan akuisisi jutaan titik x,y dan elevasi z dalam per jam jauh lebih cepat dibandingkan dengan motede konvensional (survey ground).
Kerapatan point/titik ground yang dihasilkan per 1 meter sq minimal 1 point tapi bisa sampai 9 point tergantung permukaan dan tinggi terbang (metode akuisisi) serta FoV (Field of View/ sudut pandang sensor ke bumi). Besaran pulse alat tidak begitu mempengaruhi, saat ini sudah ada vendor yang mampu membuat alat LiDAR dengan pulse diatas 500kHz, pulse besar ini akan maksimal jika pengambilan/akuisisi data dengan pesawat bisa “terbang tinggi”. Untuk wilayah Indonesia negera tropis dimana awan berada di ketinggian 1000 s/d 1500 meter, maka pesawat akan terbang di bawah awan. Untuk terbang dengan ketinggian dibawah 1000 meter, adalah cukup menggunakan pulse 75-120 kHz dan FoV 40 s/d 60 deg.
Karena menggunakan pesawat udara, akses lebih mudah tentunya untuk mengakuisisi/mencapai ke setiap bagian site. Dan disamping itu dapat menghindari kontak langsung dengan masyarakat, yang menjadi masalah besar pada survey ground / konvensional survey.
Hanya butuh 1 titik control tanah (BM) untuk radius terbang akuisisi 30 sd 40 km dari titik control tanah tersebut.
Mampung masuk disela-sela vegerasi, karena karekter gelombang nya seperti gelombang ultraviolet dan menggunakan gelombang lebih pendek dari pada spectrum elektromagnetik yaitu sekitar nm 1064.
Biaya lebih efisien dan efektif, jika area > 1.000ha. Survey ground untuk 1.000ha bisa 1,5M sampai 2M, jika menggunkan LiDAR system dibawah 1M.

Kekurangan Teknologi LIDAR
Sensor LiDAR system tidak bekerjaan maksimal jika terhalang awan/kabut.
Pulse tidak dipantulkan dengan baik jika objek-objek pantul basah (berair). Karena pulse Topographic LiDAR akan diserap / hilang jika mengenai air seperti sungai atau pemukaan yang masih basah akhibat embun atau hujan. LiDAR yang digunakan untuk Hydrographic berbeda dengan Topo, untuk Hydro dikenal dengan nama SHOALS atau singkatan dari Scanning Hydrographic Operational Airborne LiDAR Survey. System ini mampu mengakuisisi permukaan air dan kedalaman air 50 s/d 60 meter dari permukaan air.
Dalam kondisi vegerasi yang sangat rapat “cahaya matahari pun” tidak bisa masuk di sela-sela dedaun, maka dapat dipastikan pulse LiDAR juga tidak akan mampu masuk sampai ke ground (tanah).
Akurasi data LiDAR atau ketelitiaan yang dihasilkan LiDAR bervariatif, sangat bergantung pada kondisi permukaan: terbuka lunak, terbuka keras, semak beluka, hutan rawa, hutan keras, hutan virgin dan lain-lain. Untuk area terbuka keras ketelitan bisa mencapai dibawah 5 cm. Ketelitian Horizontal 2 kali s/d 5 kali lebih “jelek” dari dari ketelitian Vertical.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MATERI KULIAH KE - 6

BAB 6 PENAJAMAN CITRA DAN PEMFILTERAN SPASIAL      Penajaman citra (image enhancement) meliputi semua operasi yang menghasilkan citra...