TUGAS
INDERAJA KELAUTAN
Nama : Berti S.Rimbael
Nim : 201464007
Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan
Program Studi Ilmu Kelautan
Universitas Pattimura
Ambon
2016
Perkembangan Penginderaan Jauh
Penginderaan
jauh pada awalnya dikembangkan dari teknik interpretasi foto udara. Pada tahun
1919 telah dimulai upaya pemotretan melalui pesawat terbang dan interpretasi
foto udara (Howard, 1990). Meskipun demikian, teknik interpretasi foto
udara untuk keperluan sipil (damai) sendiri baru berkembang pesat setelah
Perang Dunia II, karena sebelumnya foto udara lebih banyak dimanfaatkan untuk
kebutuhan militer. Dalam tiga puluh tahun terakhir, penggunaan teknologi
satelit dan teknologi komputer untuk menghasilkan informasi keruangan (atau
peta) suatu wilayah semakin dirasakan manfaatnya. Penggunaan teknik
interpretasi citra secara manual, baik dengan foto udara maupun citra
non-fotografik yang diambil melalui wahana selain pesawat udara dan sensor selain
kamera hingga saat ini telah cukup mapan dan diakui manfaat dan
akurasinya. Di sisi lain, pengolahan atau pemrosesan citra satelit secara
digital telah taraf operasional untuk seluruh aplikasi di bidang
survei-pemetaan.
Hampir bersamaan dengan perkembangan teknik analisis data keruangan melalui teknologi SIG, kebutuhan akan citra digital yang diperoleh melalui perekaman sensor satelit sumberdaya pun semakin meningkat. Perolehan data penginderaan jauh melalui satelit menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan melalui pemotretan udara, antara lain dari segi harga, periode ulang perekaman daerah yang sama, pemilihan spektrum panjang gelombang untuk mengatasi hambatan atmosfer, serta kombinasi saluran spektral (band) yang dapat diatur sesuai dengan tujuan.
Di Indonesia, penggunaan
foto udara untuk survei-pemetaan sumberdaya telah dimulai oleh beberapa
lembaga pada awal tahun 1970-an. Pada periode yang sama, ketika berbagai
lembaga di Indonesia masih belajar memanfaatkan foto udara, Amerika Serikat
pada tahun 1972 telah meluncurkan satelit sumberdaya ERTS-1 (Earth Resources
Technology Satellite - 1),
yang kemudian diberi nama baru menjadi Landsat-1. Satelit ini mampu
merekam hampir seluruh permukaan bumi pada beberapa spektra panjang gelombang,
dan dengan resolusi spasial sekitar 80 meter. Sepuluh tahun kemudian,
Amerika Serikat telah meluncurkan satelit sumberdaya Landsat-4 (Landsat-D) yang
merupakan satelit sumberdaya generasi kedua, dengan memasang sensor baruThematic
Mapper yang mempunyai
resolusi yang jauh lebih tinggi daripada pendahulunya, yaitu 30 meter pada enam
saluran spektral pantulan dan 120 meter pada satu saluran spektral pancaran
termal. Pada tahun yang hampir bersamaan itu pula, beberapa lembaga
di Indonesia baru mulai memasang sistem komputer pengolah citra digital
satelit, dan menjadi salah satu negara yang termasuk awal di Asia
Tenggara dalam penerapan sistem pengolah citra digital. Meskipun
demikian, tampak nyata bahwa Indonesia sebagai negara berkembang cenderung
tertinggal dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi.
Memasuki awal sasrawarsa (milenium)
ketiga ini, telah beredar banyak jenis satelit sumberdaya yang
diluncurkan oleh banyak negara. Dari negara maju seperti Amerika Serikat,
Kanada, Perancis, Jepang, dan Rusia, hingga negara-negara besar namun dengan
pendapatan per kapita yang masih relatif rendah seperti India dan Republik
Rakyat Cina. Berbagai satelit sumberdaya yang diluncurkan itu menawarkan
kemam-puan yang bervariasi, dari resolusi sekitar satu meter atau kurang
(IKONOS, OrbView, QuickBird dan GeoEye milik perusahaan swasta Amerika
Serikat), 10 meter atau kurang (SPOT milik Perancis, COSMOS milik Rusia, IRS
milik India dan ALOS milik Jepang), 15-30 meter (ASTER yang merupakan proyek
kerjasama Jepang dan NASA, Landsat 7 ETM+ milik Amerika Serikat, yang
sayangnya mengalami kerusakan sejak tahun 2003), 50 meter (MOS, milik Jepang),
250 dan 500 meter (MODIS milik Jepang) hingga 1,1 km (NOAA-AVHRR milik Amerika
Serikat).
Banyak negara di Eropa, Amerika Utara,
Amerika Latin, Asia, dan bahkan Afrika telah memanfaatkan citra satelit itu
untuk pembangunan, baik dalam pengelolaan sumberdaya maupun mitigasi
bencana alam. Tahun-tahun belakangan ini, negera-negara berkembang
seperti Thailand, Malaysia, Nigeria dan Indonesia pun menyusul untuk
meluncurkan dan mengoperasikan satelit penginderaan jauh berukuran kecil.
Sensor-sensor satelit baru tidak hanya beroperasi pada wilayah
multispektral. Saluran pankromatik dengan resolusi spasial yang lebih
tinggi daripada saluran spektral lain pada sensor yang sama juga dioperasikan
oleh berbagai sistem. Sensor aktif seperti radar juga telah dioperasikan
oleh berbagai satelit seperti JERS (Jepang), ERS dan Envisat (Uni Eropa),
Radarsat (Kanada); sementara sistem sensor aktif berbasis teknologi laser
(Lidar) terus dikembangkan untuk memperoleh informasi ketinggian permukaan
kanopi pepohonan dan ketinggian permukaan tanahnya sekaligus. Sistem
satelit Modis, Envisat dan EO-1 juga mengangkut sensor hiperspektral dengan
ratusan saluran spektral untuk memperoleh informasi yang lebih spesifik mengenai
objek, termasuk komposisi kimia mineral dan spesies organisme.
PERKEMBANGAN APLIKASI
Penginderaan jauh sekarang tidak hanya menjadi alat bantu dalam menyelesaikan masalah. Begitu luasnya lingkup aplikasi penginderaan jauh sehingga dewasa ini bidang tersebut telah menjadi semacam, kerangka kerja (framework) dalam menyelesaikan berbagai masalah terkait dengan aspek ruang (lokasi, area), lingkungan (ekologis) dan kewilayahan (regional). Perkembangan ini meliputi skala sangat besar (lingkup sempit) hingga skala sangat kecil (lingkup sangat luas). Gambar 1.4 memberikan deksripsi visual tentang hubungan antara bidang aplikasi dengan resolusi spasial (kerincian ukuran atau detil informasi terkecil yang diekstrak) dan resolusi spasial (kerincian informasi dari sisi frekuensi perekaman atau observasi ulang).
Penginderaan jauh sekarang tidak hanya menjadi alat bantu dalam menyelesaikan masalah. Begitu luasnya lingkup aplikasi penginderaan jauh sehingga dewasa ini bidang tersebut telah menjadi semacam, kerangka kerja (framework) dalam menyelesaikan berbagai masalah terkait dengan aspek ruang (lokasi, area), lingkungan (ekologis) dan kewilayahan (regional). Perkembangan ini meliputi skala sangat besar (lingkup sempit) hingga skala sangat kecil (lingkup sangat luas). Gambar 1.4 memberikan deksripsi visual tentang hubungan antara bidang aplikasi dengan resolusi spasial (kerincian ukuran atau detil informasi terkecil yang diekstrak) dan resolusi spasial (kerincian informasi dari sisi frekuensi perekaman atau observasi ulang).
Penginderaan
jauh di awal perkembangannya berasosiasi dengan aplikasi militer, karena
gambaran wilayah yang dapat disajikan secara vertikal mampu memberikan
inspirasi bagi pengembangan strategi perang yang lebih efektif daripada
peta. Efektivitas ini khususnya menyangkut pemantauan posisi dan
pergerakan musuh, serta peluang penyerbuan dari titik-titik tertentu.
Kemajuan teknologi pemotretan yang melibatkan film peka sinar inframerah dekat
juga telah mendukung analisis militer dalam membedakan kenampakan kamuflase
objek militer dari objek-objek alami seperti misalnya pepohonan.
Penggunaan teknologi foto inframerah
akhirnya juga dimanfa-atkan untuk aplikasi pertanian, khususnya dalam konteks
perkiraan kerapatan vegetasi, biomassa dan aktivitas fotosintesis, karena
kepekaan pantulan sinar inframerah dekat ternyata berkaitan dengan struktur
interal daun dan kerapatan vertikal vegetasi. Foto udara inframerah juga
terbukti efektif pembedaan objek air dan bukan air, sehingga
pemetaan garis pantai pun sangat terbantu oleh teknologi ini.
Dalam perkembangan selanjutnya,
sensor-sensor ini merambah ke wilayah spektra panjang gelombang yang lebih
luas, seperti misalnya inframerah tengah, jauh dan termal, serta gelombang
mikro. Rambahan ini memerlukan jenis sensor dan detektor yang berbeda dengan
kamera, namun sekaligus memperluas bidang aplikasi penginderaan jauh, sehingga
semakin banyak jenis objek dan fenomena yang dapat dikaji melalui citra hasil
perekaman yang diperoleh. Setiap eksperimen yang sukses dengan rancangan
sensor baru kemudian diuji-cobakan dengan wahana yang berbeda, untuk kemudian
dioperasionalisasikan ke sistem satelit, yang mampu melakukan perekaman secara
kontinyu dan sekaligus memiliki cakupan global. Berbeda dari pendahulunya
yang hanya beroperasi dengan kamera dengan hasil perekamana berupa citra
analog, sensor-sensor baru beroperasi dengan sistem opto-elektronik yang lebih
maju dan citra yang dihasilkan pun berformat digital. Beda tinggi orbit,
kecepatan mengorbit dan sistem teleskop maupun sistem opto-elektronik detektor
akhirnya juga menentukan resolusi temporal, resolusi spasial serta resolusi
spektral data yang dihasilkan.
PERGESERAN PENERAPAN TEKNOLOGI: DARI
PEMERINTAH KE SWASTA
Pada tahun 1994, pemerintah Amerika Serikat mengambil keputusan untuk mengijinkan perusahaan sipil komersial untuk memasarkan data penginderaan jauh resolusi tinggi, yaitu antara 1-4 meter (Jensen, 1996). Hal ini kemungkinan berkaitan dengan berakhirnya era Perang Dingin. Dua perusahaan swasta, yaitu Earth Watch dan Space Imaging segera menanggapi keputusan ini dengan mengeluarkan produk mereka, masing-masing adalah Earlybird dan Quickbird (Earth Watch) dan Ikonos (Space Imaging). Earlybird memberikan resolusi spasial 3 meter untuk citra pankromatik dan 15 meter untuk citra multispektral meskipun proyek ini kemudian gagal; sedangkan Quick Bird dan Ikonos mampu memberikan citra dengan resolusi spasial yang lebih tinggi, yaitu masing-masing 0,6 dan 1 meter untuk pankromatik 2,4 dan 4 meter untuk multispektral. GeoEye saat ini mampu memberikan data pada resolusi sekitar 40 cm, meskipun Pemerin-tah Amerika Serikat membatasi distribusi dan penggunaan citra resolusi spasial tinggi hanya sampai dengan 50 cm.
Pada tahun 1994, pemerintah Amerika Serikat mengambil keputusan untuk mengijinkan perusahaan sipil komersial untuk memasarkan data penginderaan jauh resolusi tinggi, yaitu antara 1-4 meter (Jensen, 1996). Hal ini kemungkinan berkaitan dengan berakhirnya era Perang Dingin. Dua perusahaan swasta, yaitu Earth Watch dan Space Imaging segera menanggapi keputusan ini dengan mengeluarkan produk mereka, masing-masing adalah Earlybird dan Quickbird (Earth Watch) dan Ikonos (Space Imaging). Earlybird memberikan resolusi spasial 3 meter untuk citra pankromatik dan 15 meter untuk citra multispektral meskipun proyek ini kemudian gagal; sedangkan Quick Bird dan Ikonos mampu memberikan citra dengan resolusi spasial yang lebih tinggi, yaitu masing-masing 0,6 dan 1 meter untuk pankromatik 2,4 dan 4 meter untuk multispektral. GeoEye saat ini mampu memberikan data pada resolusi sekitar 40 cm, meskipun Pemerin-tah Amerika Serikat membatasi distribusi dan penggunaan citra resolusi spasial tinggi hanya sampai dengan 50 cm.
Pada aras pengguna, semakin banyak perusahaan swasta yang
bergerak di bidang penginderaan jauh. Lingkup kegiatan ini bukan hanya
pada penguasaan pengolahan data awal hingga pemasaran pada tingkat hulu seperti
EOSAT, SpaceImaging dan DigitalGlobe, melainkan juga penyediaan jasa
konsultansi untuk berbagai kegiatan seperti pekerjaan umum, kehutanan,
pembukaan lahan transmigrasi, hingga lahan yasan (real estate).
Pergesaran ini membawa implikasi pada kemampuan akses data penting kewilayahan
yang sebelumnya hanya dikuasai oleh negara (khususnya militer) ke pihak
swasta. Pertukaran dan jual-beli data resolusi tinggi saat ini semakin
sulit untuk diawasi dan diatur oleh negara, mengingat bahwa lalu lintas data
telah dapat dilakukan secara bebas melalui jaringan internet. Banyak
perusahaan pemasaran data satelit sumberdaya dan cuaca dewasa ini menyediakan
fasilitas download data melalui internet.
PERKEMBANGAN TEKNIK ANALISIS
Dari Manual ke Digital
Ketika berbagai negara berkembang masih memiliki akses terbatas ke sistem komputer untuk pengolahan citra digital, pemanfaatan produk penginderaan jauh satelit masih berupa citra tercetak (hard copy) yang diinterpretasi secara visual atau manual. Teknik interpretasi semacam ini telah berkembang pesat dalam penginderaan jauh sistem fotografik, dan hingga saat ini merupakan teknik yang dipandang mapan. Prinsip-prinsip interpretasi fotografis dapat diterapkan pada citra satelit yang telah dicetak, dan memberikan banyak informasi mengenai fenomena spasial di permukaan bumi pada skala regional. Citra-citra satelit yang telah tercetak ini memberikan keuntungan terutama dalam hal (a) kemudahan analisis regional secara cepat (karena dimungkinkannyasynoptic overview pada satu lembar citra berukuran 60 km x 60 km sampai dengan 180 km x 185 km), dan (b) kemudahan pemindahan hasil interpretasi (plotting) ke peta dasar, karena tidak memerlukan banyak lembar dengan skala yang berbeda-beda dan mempunyai distorsi geometri yang relatif lebih rendah dibandingkan foto udara.
Ketika berbagai negara berkembang masih memiliki akses terbatas ke sistem komputer untuk pengolahan citra digital, pemanfaatan produk penginderaan jauh satelit masih berupa citra tercetak (hard copy) yang diinterpretasi secara visual atau manual. Teknik interpretasi semacam ini telah berkembang pesat dalam penginderaan jauh sistem fotografik, dan hingga saat ini merupakan teknik yang dipandang mapan. Prinsip-prinsip interpretasi fotografis dapat diterapkan pada citra satelit yang telah dicetak, dan memberikan banyak informasi mengenai fenomena spasial di permukaan bumi pada skala regional. Citra-citra satelit yang telah tercetak ini memberikan keuntungan terutama dalam hal (a) kemudahan analisis regional secara cepat (karena dimungkinkannyasynoptic overview pada satu lembar citra berukuran 60 km x 60 km sampai dengan 180 km x 185 km), dan (b) kemudahan pemindahan hasil interpretasi (plotting) ke peta dasar, karena tidak memerlukan banyak lembar dengan skala yang berbeda-beda dan mempunyai distorsi geometri yang relatif lebih rendah dibandingkan foto udara.
Sejalan dengan perkembangan
teknologi komputer yang semakin pesat dewasa ini --di mana banyak perusahaan
telah melakukan downsizing (beralih dari komputer mainframe ke komputer mini, dan dari komputer
mini ke komputer mikro/PC) maka akses berbagai kelompok praktisi dan akademisi
ke otomasi pengolahan citra digital pun semakin besar. Semakin banyak
paket perangkat lunak pengolah citra digital dan SIG yang dioperasikan dengan
PC dan bahkan komputer jinjing (laptop). Di sisi lain, berbagai
jenis PC dan laptop saat ini ditawarkan dengan harga yang semakin murah namun
dengan arsitektur prosesor yang semakin canggih dan kemampuan pengolahan maupun
penyimpanan data yang semakin tinggi.
Teknologi SIG sebenarnya telah dimulai pada akhir tahun 1960-an, antara lain
oleh Tomlinson (Marble dan Pequet, 1990). Kemudian pada dekade 1970-an
beberapa negara bagian di Amerika Serikat telah memulai untuk menerapkan SIG
dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan perencanaan wilayah. Pada sekitar
tahun 1979, Jack Dangermond mengawali pengembangan paket perangkat lunak SIG
yang sangat terkenal, yaitu Arc/Info untuk mengisi pasar komersia (Rhind et al., 2004).
Setelah itu, puluhan --bahkan ratusan macam paket perangkat lunak SIG, yang
sebagian besar di antaranya dioperasikan untuk PC, membanjiri pasar
dunia. Kebutuhan akan fasilitas pengolahan citra digital yang sekaligus
dilengkapi dengan fasilitas SIG telah membuka kemungkinan-kemungkinan baru
dalam analisis data spasial. Sistem pengolah citra satelit dapat
memberikan masukan pada SIG berupa peta-peta tematik hasil ekstraksi informasi
dari citra digital satelit. Di sisi lain, fasilitas analisis spasial dari
SIG mampu mempertajam kemampuan analisis penglohan citra, terutama dalam hal
pemanfaatan data bantu untuk meningkatkan akurasi hasil klasifikasi
multispektral (Jensen, 2005).
Dari Multispektral ke
Multisumber dan Hiperspektral
Pada awal perkembangannya, kamera
hanya mampu menghasil-kan foto hitam-putih. Hal yang sama diberikan oleh
foto yang dipasang pada pesawat udara untuk kebutuhan pengintaian dalam
aplikasi miltiter. Kehadiran film berwarna pun secara cepat berimbas pada
penggunaan yang lebih intensif dalam penginderaan jauh berbasis foto udara.
Ketersediaan film inframerah kemudian mendorong perkembang-an kamera
multisaluran (multiband), yang pada umumnya memuat empat lensa dalam satu badan
kamera, dengan kepekaan yang berbeda-beda untuk wilayah spektral berikut: biru,
hijau, merah dan inframerah dekat. Tahap ini menandai perkembangan sistem
pemotretan dari yang bersifat unispektral (saluran tunggal) dan berjulat
spektral lebar –misalnya dari biru hingga merah— ke sistem pemotretan
multispektral. Analisis visual foto udara pankromatik, baik hitam-putih
maupun berwarna pun kemudian bergeser ke analisis multispektral sederhana,
dengan memanfaatkan alat pemadu warna elektrik seperti additive colour viewer (ACV).
ACV merupakan suatu
antarmuka (interface) yang
dapat digunakan untuk menampilkan diapositif film multispektral dengan
penyinaran warna primer (merah, hijau dan biru) untuk masing-masing
saluran. Melalui teknik ini, empat saluran yang tersedia dalam empat frame diapositif dapat disajikan sebagai
foto udara komposit warna semu atau warna asli, tergantung pada pemilihan
kombinasi sinar merah, hijau dan biru pada diapositif saluran yang
berbeda-beda. Interpretasi visual atas citra analog dilakukan di atas
kaca tempat memproyeksikan sorotan komposit diapositif tersebut.
Dengan tersedianya sistem perekam
citra digital, maka citra multispektral pun diolah dengan komputer, dan setiap
kombinasi warna dalam bentuk citra komposit bisa dihasilkan dengan mudah.
Analisis multispektral dapat dilakukan secara lebih teliti dengan membaca nilai-nilai
piksel pada berbagai saluran spektral secara serentak, untuk diperbandingkan,
dikombinasi melalui transformasi, maupun diekstrak melalui berbagai analisis
statistik multivariat yang rumit, di mana setiap saluran berfungsi sebagai satu
variabel informasi spektral. Dari awal tahun 1970-an hingga saat buku ini
ditulis, telah berkembang banyak metode analisis multispektral, yang dapat
dibaca di Adams dan Gilespie (2006), Liu dan Mason (2008), dan juga Gao (2010).
Kehadiran teknologi informasi spasial melalui SIG telah memperluas jangkauan
analisis citra, sehingga kemudian berkembanglah metode-metode ekstraksi
informasi objek atau fenomena di permukaan bumi dengan memasukkan data yang
bersifat nir-spektral, sepertu misalnya jenis tanah, bentuklahan, kemiringan
lereng, elevasi, dan juga peta-peta berisi objek-objek spasial lain.
Tentu saja, peta-peta ini harus disimpan dan diproses dalam format data
digital. Dengan demikian, perkembangan metode yang sudah berlangsung
sekitar 25 tahun ini kemudian semakin mengarah ke klasifikasi
multisumber. Beberapa tulisan awal yang mengintegrasikan penginderaan
jauh (khususnya pengolahan citra) dan SIG angara lain yang ditulis oleh
Verbyla dan Nyquist (1987), Srinivasan dan Richards (1990), Danoedoro (1993).
Sementara tulisan yang relatif baru untuk topik-topik ini, dengan teknik-teknik
yang juga baru, antara lain bisa dijumpai di Weng (2010).
Perkembangan analisis multispektral juga mengarah ke penambahan jumlah saluran
dan lebar setiap saluran. Sistem hiperspektral mampu mencitrakan fenomena
di permukaan bumi dengan jumlah saluran spektral yang mencapai ratusan dan
dengan lebar setiap saluran yang hanya beberapa nanometer. Analisis citra
semacam ini, yang disebut dengan spectral
cube (kubus spektral)
berkembangan dengan pendekatan yang berbeda, mengingat bahwa metode-metode
analisis multispektral tidak akan efisien dari sisi waktu pemrosesan dan
akurasi hasilnya. Tulisan-tulisan van der Meer dan de Jong (2003) serta
Jensen (2007) dapat dijadikan rujukan awal untuk keperluan ini.
Dari Per-piksel ke Per-objek
Perkembangan sistem penginderaan jauh satelit telah menghasilkan citra-citra digital yang tidak pernah dibayangkan oleh praktisi di tahun 1980-an, yaitu citra multispektral dengan kualitas detil yang mendekati atau bahkan menyamai foto udara. Hal ini tidak lepas dari berakhirnya era Perang Dingin di awal 1990-an dan keputusan Presiden Bill Clinton untuk mengijinkan perusahaan-perusahaan swasta mengoperasikan satelit penginderaan jauh dengan teknoogi satelit mata-mata. Pada tahun 1999 muncullah perusahaan Space Imaging yang meluncurkan satelit Ikonos dengan resolusi spasial hingga 1 meter, disusul oleh Quickbird dengan resolusi spasial hingga 0,6 meter, serta satelit-satelit lain seperti OrbView. Saat ini, satelit GeoEye telah mampu menghasilkan citra digital dengan resolusi spasial sekitar 40 cm, meskipun undang-undang di Amerika Serikat hanya mengijinkan citra tersebut diproses dan digunakan oleh publik pada resolusi spasial 50 cm atau lebih kasar.
Perkembangan sistem penginderaan jauh satelit telah menghasilkan citra-citra digital yang tidak pernah dibayangkan oleh praktisi di tahun 1980-an, yaitu citra multispektral dengan kualitas detil yang mendekati atau bahkan menyamai foto udara. Hal ini tidak lepas dari berakhirnya era Perang Dingin di awal 1990-an dan keputusan Presiden Bill Clinton untuk mengijinkan perusahaan-perusahaan swasta mengoperasikan satelit penginderaan jauh dengan teknoogi satelit mata-mata. Pada tahun 1999 muncullah perusahaan Space Imaging yang meluncurkan satelit Ikonos dengan resolusi spasial hingga 1 meter, disusul oleh Quickbird dengan resolusi spasial hingga 0,6 meter, serta satelit-satelit lain seperti OrbView. Saat ini, satelit GeoEye telah mampu menghasilkan citra digital dengan resolusi spasial sekitar 40 cm, meskipun undang-undang di Amerika Serikat hanya mengijinkan citra tersebut diproses dan digunakan oleh publik pada resolusi spasial 50 cm atau lebih kasar.
Kehadiran citra resolusi spasial tinggi telah
menantang para analis citra untuk mengembangkan metode ekstraksi informasi
tematik yang berbeda dengan klasifikasi multispektral –yang biasa diterapkan
pada citra resolusi spasial menengah dan rendah. Metode ini dikenal
dengan nama klasifikasi berbasis objek (object-based classification).
Di Indonesia, citra resolusi spasial tinggi lebih banyak diperlakukan seperti
foto udara karena para analis mengalami kesulitan dalam menerapkan klasifikasi
multispektral terhadap citra semacam itu. Pada klasifikasi multispektral
citra resolusi tinggi, satu piksel merupakan bagian dari objek penutup lahan
yang umumnya berukuran jauh lebih besar, sehingga hasil klasifikasi cenderung
merupakan kumpulan piksel yang tidak berkaitan langsung dengan kategorisasi
objek yang dikembangkan dalam klasifikasi (Danoedoro, 2006). Untuk
mengatasi masalah ini, dalam kurun 10 tahun terakhir mulai berkembang metode
klasifikasi berbasis objek, yang memanfaatkan teknik segmentasi citra (Baatz
dan Schappe, 2000; Ranasinghe, 2006; Navulur, 2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar