Ibert

Jumat, 05 Mei 2017

MATERI KULIAH KE - 6

BAB 6 PENAJAMAN CITRA DAN PEMFILTERAN SPASIAL

     Penajaman citra (image enhancement) meliputi semua operasi yang menghasilkan citra ‘baru’ dengan kenampakan visual dan karakteristik spektral yang berbeda. Di samping penajaman citra, ada lagi jenis operasi yang disebut pemfilteran (filtering). Pada beberapa pustaka (misalnya Niblack, 1986; dan Mulder dan Kostwinder, 1987) kedua teknik ini tidak dikelompokan dalam satu kelompok operasi yang disebut penajaman citra. Pada umumnya para penulis yang mempunyai latar belakang bukan ilmu kebumian cenderung mengelompokan pemfilteran sebagai teknik terpisah dari teknik-teknik penajaman karena efek yang dihasilkan dan filosofinya pun berbeda dari teknik-teknik penajaman yang lain. Namun ada pula beberapa penulis yang menyatukan teknik penajaman dan pemfilteran sebagai satu kelompok operasi penajaman.

6.1 PENAJAMAN KONTRAS
 Penajaman kontras (contrast enhancement) diterapkan untuk memperoleh kesan kontras citra yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan mentransformasi seluruh nilai kecerahan dan memberikan hasil berupa citra dengan nilai maksimum baru yang lebih tinggi dari nilai maksimum awal, dan nilai minimum baru yang (pada umumnya) lebih rendah dari nilai minimum awal. Secara visual, hasil ini berupa citra baru yang variasi hitam-putihnya lebih menonjol sehingga tampak lebih tajam dan memudahkan proses interpretasi. Algortitma penajaman kontras ini dapat di kelompokan menjadi dua, yaitu perentangan kontras (contrast stretching) dan ekualisasi histogram (histogram equalization). Masing-masing algoritma dijelaskan sebagai berikut ini.
6.1.1 Perentangan Kontras
 Kontras citra dapat dimanipulasi dengan merentang nilai kecerahan pikselnya. Perentangan yang efektif dapat dilakukan dengan memperhatikan bentuk histogramnya. Citra asli, yang biasanya mempunyai julat nilai lebih sempit 0-255, perlu direntang sehingga kualitas citranya menjadi lebih baik. Hasil perentangan ini adalah citra baru, yang bila digambarkan histogramnya berupa kurva yang lebih lebar (lihat Gambar 6.1)
Terdapat beberapa cara untuk merentang kontras citra. Cara paling sederhana ialah dengan mengalikan citra tersebut, misalnya dengan faktor pengali p. Citra X dengan julat nilai kecerahan 0-21, bila dikalikan dengan faktor p = 3 menghasilkan citra X’ dengan julat 0-63. Pada pengaturan warna hitam-putih, citra baru ini akan tampak lebih kontras karena julatnya semakin lebar. Nilai maksimum lama, yaitu 21, yang tampak gelap ditransformasi manjadi nilai maksmimum baru, 63, yang tampak jauh lebih cerah; sedangkan nilai minimum dijaga tetap (Gambar 6.2.a)
Cara lain adalah suatu pengondisian. Perentangan dilakukan pada julat diantara nilai maksimum dan nilai minimum. Misalnya citra X {0..21} akan direntang menjadi citra X” {0..255}, tetapi dengan mengambil nilai 3 sebagai nilai masukan minimum dan 19 sebagai nilai masukan maksimum. Dalam hal ini, nilai asli pada citra X {0..21} yang <= akan menjadi 0 pada citra baru, dan nilai asli yang >= 9 akan menjadi 255 (gambar 6.2.b).Transformasinya adalah sebagai berikut :
            BV output = (BV input – BV min) / (BV maks – BV min) * 255 ................................. (6.1)
BV output adalah nilai kecerahan baru hasil transformasi, BV input adalah sembarang nilai kecerahan piksel pada citra yang menjadi masukan, BV maks adalah nilai kecerahan maksimum piksel pada citra asli. Nilai koefisien 0-255 (kecerahan maksimum). Apabila menghendaki nilai maksimum piksel hasil transformasi sebesar 200 maka nilai 255 tersebut dapat diganti dengan 200. Pada persamaan ini, jika BV output ternyata negatif maka nilai baru akan diatur menjadi sama dengan 0. Begitu pula  apabila BV output > 255 maka nilai baru akan diatur menjadi 255.
Operasi perentangan kontras ini dapat dibalik sehingga menghasilkan citra baru yang lebih sempit julatnya dan disebut sebagai pemampatan kontras (contrast compression). Baik perentangan maupun pemampatan kontras mengubah nilai kecerahan piksel satu demi satu, tanpa melibatkan nilai piksel yang berdekatan (piksel tetangga). Oleh karena itu, operasi ini disebut sebagai operasi global, yang secara konseptual berbeda dengan operasi lokal atau operasi fokal (ketetanggaan) melalui teknik pemfilteran. Pada kebanyakan perangkat lunak pengolah citra untuk keperluan publishing, biasanya citra ditampilkan sudah dalam keadaan terentang dengan menggunakan nilai default 1% atau 2%. Nilai default ini pun biasanya dapat diubah sesuai dengan kebutuhan analis.
         
           
Gambar 6.2 Perentangan Kontras Secara Linier dengan menggunakan masukan nilai minimum dan maksimum asli maupun nilai piksel pada posisi presentase komulatif tertentu (Sumber , Jensen, 2005 dengan Perubahan)
                           

Gambar 6.3 Atas : Citra asli Landsat Thematic Mapper wilayah Semarang saluran 3 (merah); bawah : citra dipertajam melalui teknik perentangan kontras secara linier dengan cut-off dan  saturation 1%.
6.1.2 Ekualisasi Histogram
Teknik penajaman kontras yang telah diuraikan diatas adalah suatu teknik penajaman kontras linier. Selain linear stretching ini, ada lagi teknik penajaman dengan cara ekualisasi histogram ini dapat dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, dilakukan penghitungan untuk menurunkan histogram citra yang akan dipertajam. Kedua, si operator kemudian menentukan jumlah kelas kecerahan yang baru (misalnya 32). Data BV seluruh cutra nantinya akan didistribusikan kembali ke masing-masing kelas tersebut. Ketiga, program akan menghitung dan menandai piksel demi piksel, untuk kemudian mengelompokan mereka masing-masing dalam jumlah yang kurang lebih sama ke tiap kelas kecerahan yang tersedia. Setelah itu, dengan sendirinya citra baru (atau tampilan pada layar) segera dihasilkan.
Ekualisasi histogram menghasilkan citra dengan kontras maksimum bila pengambilan julat nilai kecerahannya tepat seperti halnya pada perentangan kontras linier. Pengambilan ini dikatakan tepat bila julat nilai tersebut mewakili populasi terbanyak dalam histogram (misalnya pada ‘bukit’ kurva utamanya).
Tabel 6.1 Statistik untuk citra hipotetik 64 kolom x 64 baris (4096 piksel) dengan julat BV 0-7 (8 bit)
Nilai Kecerahan
Frekuensi
0
790
1
1023
2
850
3
656
4
329
5
245
6
122
7
81

Berikut ini uraian singkat yang diambil dari Jensen (2005, yang juga merupakan modifikasi atas contoh yang dibuat oleh Gonzalez dan Wintz, 1977). Misalkan terdapat suatu citra hipotetik yang terdiri atas 64 kolom x 64 baris (total = 4096 piksel) dengan julat nilai 0-7 (BV,=8). Histogram dan distribusi frekuensinya dapat dilihat pada gambar 6.4a dan tabel 6.1. disana terlihat bahwa piksel dengan nilai 0 berjumlah 790 (fBV0 = 790), kemudian fBV1 = 1023, dan seterusnya. Probabilitas kemunculan tiap nilai kecerahan pBvi pun dapat dihitung dengan cara membagi tiap frekuensi BVi dengan jumlah piksel total (n=4096). Rinciannya dapat dilihat pada tabel 6.1.
Setelah itu, dibuat histogram yang menyatakan distribusi frekuensi nisbah nilai kecerahan BVi terhadap BV maksimum (dari 0,1/7, 2/7, 3/7, .., 1) pada gambar 6.4b. histogram ini kemudian ditransformasi menjadi histogram kumulatif pada gambar 6.4c. berdasarkan histogram kumulatif ini, fungsi transformasi probabilitas si dibuat, yang menyatakan nilai kumulatif probabilitas tiap nisbah (rasio) kecerahan (lihat gambar 6.4d). formulasinya adalah si = pi, i = 0, 1,2,3,..
                           


Tahap terakhir adalah pengelompokan kembali nilai kecerahan berdasarkan nilai tertransformasi  si . contoh ini dimulai dari nilai s0 = 0.19 , yang lebih dekat ke nilai penisbahan 0.14 (hasil transformasi BV1) sehingga seluruh piksel bernilai 0 ditransformasi bernilai 1. Beralih ke nilai si = p0+pi = 0.19+0.25 =0.44. Nilai ini lebih dekat ke nilai penisbahan 3/7 (=0.43), yang dimiliki oleh BV3 sehingga seluruh piksel bernilai 1 ditransformasi menjadi bernilai 3. Begitu seterusnya hingga diperoleh nilai baru 5 untuk piksel asli bernilai 2, dan nilai baru 6 untuk nilai asli 3 dan 4, serta nilai baru 7 untuk nilai asli 5,6 dan 7. Nyata bahwa nilai kecerahan asli 0,2, dan 4 tak dipresentasikan lagi. Hasilnya adalah citra baru kekontrasannya lebih optimal.
                        

Penajaman kontras merupakan teknik manipulasi dasar dalam studi pengindraan jauh. Hampir semua operasi ekstraksi informasi membutuhkan bantuan teknik ini, sejauh hasil proses tersebut digunakan sebagai materi utama pemilihan sampel (misalnya dalam penyusunan komposit yang baik untuk klasifikasi multispektral), delineasi satuan-satuan pemetaan pada hasil cetak (hard copy), dan sebagainya. Penajaman kontras atas citra saluran-saluran asli tidak pernah direkomendasikan, apabila saluran-saluran tersebut akan digunakan sebagai masukan dalam proses klasifikasi
Multispektral, penisbahan saluran (band rationing), transformasi indeks vegetasi, ataupun transformasi lain seperti halnya principal component analisis (PCA) ataupun transformasi tasseled-cap dari kauth dan thomas (lihat bab 7).
Dalam penajaman citra yang membutuhkan informasi mengenai variasi penutup/penggunaan lahan pada suatu citra, teknik perentangan kontras lebih disukai karena mampu menghasilkan kenampakan gradual nilai-nilai pixel yang berdekatan. Apabila teknik ini diterapkan pada saluran-saluran tampak, maka akan jelas terlihat variasi jenis penutup lahan termasuk didalamnya perbedaan kerapatan vegetasi pada lahan-lahan pertanian. Begitu pula halnya dengan kenampakan tubuh air dengan gradiasi kekeruhannya, yang mengindikasikan besarnya muatan tersuspensi.
Apabila kenampakan blok antar objek lebih dibutuhkan, misalnya pengenalan zona-zona permukiman dengan pemisah berupa jaringan jalan yang ingin dipertegas, maka teknik ekualisasi histogram pada umumnya lebih eksprisif. Penggunaan teknik ini untuk mempertegas perbedaan antara tubuh air dan vegetasi pada saluran inframerah dekat (XS3 SPOT DAN TM4 Landsat) lebih di anjurkan. Lebih dari itu, kadang-kadang diperlikan juga suatu kombinasi teknik penajaman kontras dengan teknik pemfilteran, karena citra hasil pemfilteran pada umumnya kurang mampu menyajikan kekontrasan secara tepat.
Perlu ditegaskan disini bahwa penajaman kontras tetap tidak mampu menekan pengarug/gangguan atmoefer,, khususnya apabila gangguan tersebut terjadi secara tiadak merata. Liputan citra yang sacear parsial tergantung oleh kabut tipis akan lebih efektif dikoreksi degan model transfer atau meleui kalibrasi garis impiris, seperti yang telah diuraikan pada bab5. Penajaman kontras terhadap citra semacam ini justru akan mempertajam kenampakan gangguan atmosfernya.
6.3 PENAJAMAN SPASIAL MELAUI FUSI CITRA MULTIRESOLUSI
Dalam seperempat abad terakhir banyak sistem pencitraan telah menghasilkan citra multispektral dan citra pankronatik. Secara umum dapat dikatakan bahwa suatu sistem sensor yang mampu menghasilkan citra multispektral denngan resolusi spasial tertentu akan memberikan citra
Pankromatik dengan resolusi spasial yang lebih tinggi. Hal ini wajar, mengingat dengan menggunakan lebar spektrum yang lebih besar, sensor dan detektor dapat mengumpulkan energi dengan nisbah sinyal terhadap derau yang lebih besar untuk luasan area yang lebih sempit. Oleh karena itu, apabila suatu sensor dengan saluran spektral berjulat spektrum relatif sempit memerlukan area seluas 20x20 m kuadrat, maka dengan saluran spektral pankromatik (0,51-073 um) hanya memerlukan area area yang lebih sempit, misalnya seluas 10x10 m kuadrat atau kurang untuk mengumpulkan energi yang kemudian dikonversi ke nilai kecerahan pixel.
SPOT 1-3 merupakan salah satu sistem satelit pertama yang mampu menghasilkan citra multispektral (resolusi spasial 20 m) dan pankromatik (15 m). SPOT 5, ikonos, quickbird, orbview, geoeye merupak contoh satelit yang menghasilkan citra multispektral dan pankromatik yang jauh lebih tinggi, yaitu 2,5 hingga 0,5 m.
Ide pengubahan citra multispektral dan pankromatik kemudian muncul yang kemudian disebut resolusi pan-sharpened colour composite, alasannya miskipun mempunyai resolusi spasial lebih tinggi, citra pankromatik pada umumnya kurang menarik untuk dimamfaatkan secara mandiri karena tidak ada unsur warna dalam visualisasinya. Oleh karena itu, suatu metode yang dapat mengombinasikan keunggulan multispektral dalam aspek warna, dengan keunggulan citra pankromatik dalam aspek kerincian spasialnya karena resolusi spasial yang lebih tinggi dikembangkan. Panggambungan ini menghasilkan citra multispektral yang tetap berwarna-warni dan dipertajam secara spasial oleh citra pankromatik.
Ada beberapa macam metode penggambungan citra multispektral dan pankromatik, namun semuanya sebenarnya bertumpu pada metode berbasis aljabar citra, yang menyaratkan ko-registrasi spasial pada semua citra masukan. Pada awalnya metode penggabungan ini hanya diterepkan pada citra multispektral yang terdiri dari 3 saluran, untuk dipadukan dengan 1 citra pankromatik (short, 1982).
6.3.1 metode perkalian (multiplikatif)
Metode perkalian (multiplikatif) merupakan metode paling sederhana. Melalu metode ini, setiap citra saluran multispektral dikalikan dengan citra  saluran pankromatik. Perkalian ini melibatkan proses aljabar peta yang mensyaratkan ko-registrasi, dimana citra multispektral secara otomatis di resample sehingga menghasilkan citra baru yang merupakan kombinasi citra masing-masing saluran multispektral dengan pankromatik. Yang julat nilai pixelnya diskalakan menjadi ke 0-225. Penyusunan citra komposit dilakukan dengan menggunakan masukan setiap saluran spektral baru, yang telah terkombinasi dengan citra pankromatik.
Kelemahan utama metode multiplikatif adalah ketidakmampuan untuk mempertahankan untuk mempertahankan aspek radiaometri multispektral. Miskipun demikian, banyak kasus dalam menggunakan metode ini masih mampu menonjolkan kenampakan yang terkait dengan fenomena kekotaan. Karena adanya peningkatan intensitas sebagai hasil dari operasi lain.
6.3.2 METODE TRANSFORMASI BROVEY
Merupakan metode yang paling populer untuk memedukan dua macam citra yang berbeda resolusi spasial. Transformasi brovey mengubah nilai spektral asli pada setiap saluran multi spektral, katakanlah berkode saluran merah (M), hijau (H), biru (B). menjadi saluran-saluran baru (MP, BP,HP) yang masing-masing telah diperinci secara spasial oleh citra pankromatik dan di normalisasikan nilai kecerahannya dengan mempertimbangkannya nilai-nilai pada saluran lainnya. Rumusnya adalah sebagai berikut (short 1982, vrabel 1996).
Melalui metode ini secara otomatis ketiga saluran spektral M,H dan B akan di resample ke ukuran pixel saluran P, baik menggunakan nearest neighbour, bi-linear, ataupun cubic convolution.
6.3.3 METODE GRAN-SCHIDT
Metode ini digunakan oleh perangkat lunak ENVI, tetapi juga digunakan oleh perangkat lunak IDRISI dengan nama lain, yaitu transformasi regresi lokal. Liu dan mason (2009) menamakannyamodulisasi intensitas berbasis filter penghalusan, serta menjadi dasar bagi penjelasan berikut ini. Dengan demikian, istilah gram-schmidt, tranformasi regresi lokal dan SFIM sebenarnya mengacu ke metode yang sama, yang bertumpu pada hasil penelitian price (1999).
Metode SFIM dikembangkan berdasarkan alasn bahwa fusi citra multi resolusi, misalnya transformasi HIS dan brovey, dapat menyebabkan distorsi warna apabila julat spektral dari citra pengganti intensitas yang biasanya diwakili oleh citra penkromatik beresolusi tinggi, berbeda dari ketiga saluran multispektral yang akan diperbaiki tampilan spasialnya. Masalah semacam ini akan semakin menonjol ketika kedua macam tidak diperoleh pada tanggal yang sama. Tampilan yang sangat mengganggu ini biasanya muncul pada wilayah bervegetasi karena adanya perbedaan masa tanam di wilayah pertanian.
Secara garis besar, penajaman spektral SFIM melibatkan empat langkah berikut. Pertama,, melakukan simulasi saluran pankromatik resolusi tinggi berdasarkan saluran multispektral dengan resolusi spasial lebih rendah, transformasi gram-schmidt diterapkan pada saluran pankromatik hasil simulasi dan saluran multispektral, dimana saluran pankromatik hasil simulasi siperlakukan sebagai saluran pertama. Ketiga, saluran pankromatik resolusi tinggi yang asli kemudian digantikan oleh saluran gram-schmidt hasil simulasi. Ke empat, transformasi gram schmidt dabalik untuk diterapkan, membentuk saluran-saluran multispektral yang dipertajam dengan saluran pankromatik.
Model SFIM atau gram schmidt dilandasi oleh model radiasi matahari. Mengacu ke penjelasan liu dan mason (2009), nilai pixel suatu citra optik yang diambil di siang hari ditentukan oleh dua faktor, yaitu radiasi sinar matahari yang mengenai permukaan bumi, yaitu irradiansi, dan pantulan dari permukaan bumi.
Apabila BV mewakili nilai pixel citra rendah berolusi lebih rendah dan mewakili nilai pixel citra berolusi lebih tinggi. Maka ko-regrestrasi citra resolusi rendah mengacu ke citra resolusi tinggi akan menyebabkan setiap pixel pada citra resolusi rendah harus diperbesar sekian kali, sesuai dengan rasio antar kedua macam resolusi. Misalnya, resolusi rendah adalah 20 m dan resolusi tinggi adalah 10 m maka rasio kedua adalah 20:10=2 (artinya setiap satu pixel resolusi rendah memuat 2x2=4 pixel resolusi tinggi).
Dalam model SFIM diperlukan simulasi citra resolusi tinggi dengan niali pixel BV yang digunakan nilai rerata pada ke empat nilai pixel asli BV. Satu nilai baru yang menggantikan ke empat nilai pixel resolusi rendah ini diperlu didefinisikan dengan menggunakan prisip rerata lokal yang memperhatikan ke empat pixel resolusi tinggi yang menyusun satu pixel resolusi rendah.
Nilai pixel pada citra SFIM didefinisikan  sebagai;
Dari perspektif model radiasi mataharii, irradiansi yang mengenai permukaan bumi dikontrol oleh topografi. Apabila dua macam citra dikuantifikasikan pada satu resolusi spasial, karena keduanya bervariasi sebagai efek dari kontrlo topografi yang serupa. Selanjutnya p rendah= p tinggi apabila tiadak ada variasi spektral signifikan pada pixel-pixel pengyusun BV. Dengan demikian dalam persamaan
E rendah dan E rendah akan saling meniadakan, sementara p rendah dan p tinggi juga saling meniadakan. E tinggi dapat digantikan oleh E tinggi akhir, rumus diatas bisa digantikan oleh rumus yang lebih sederhana sebagai berikut;
Dimana citra resolusi rendah adalah saluran tertentu beresolusi lebih rendah yang di registrasikan keseluruh dengan resolusi spasial lebih tinggi. Citra rerata lokal adalah saluran baru yang diperoleh degan cara menerapkan pemfilteran rerata=nilai rasio antara resolusi tinggi terhadap resolusi rendah, misalnya 20 m terhadap 10 m memberikan rasio 2, dan ukuran filter menjadi 2x2. Cara menerapkan pemfilteran bisa dibaca di sub bab 6.4.
Dimana tiga saluran rendah adalah saluran tertentu beresolusi yang akan diberi merah, hijau dan biru melalui fusi dengan saluran pankromatik, maka rumus di atas menjadi;
Miskipun liu dan mason (2009) menegaskan bahwa model SFIM inimampu mempertahankan aspek spektral dalam fusi citra multiresolusi, ada juga kelemahannya yang sangat dipengaruhi oleh akurasi geometri. Kelemahan ini muncul ketika citra multispektral resolusi rendah tidak teregistrasi atau terkoreksi geometri dengan baik, mengacu ke citra berresolusi lebih tinggi, maka pergeseran posisi ini akan muncul dalam bentuk gangguan warna.
6.3.4 METODE PRINCIPAL COMPONENT
Metode penajaman spasial melaui fusi citra multispektral dengan citra pankromatik juga dapat dilakukan dengan metode principical component analisis (PCA). PCA merupakan suatu analisis data multispektral dengan jumlah saluran relatif banyak, untuk menghasilkan citra baru dengan jumlah saluran yang lebih sedikit, kandungan informasi yang dimilikinya mewakili sebagian besar infoermasi dari citra saluran-saluran asli. Saluran baru berupa citra PCI hasil transformasi PCA citra lansat ETM+ misalnya, bisa memuat hingga 83% dari total informasi ke enam saluran. PC2 bisa mencapai hingga 14 %, dan presentase ini akan semakin sedikit pada PC-PC berikutnya. Pembahasan lebih lanjut untuk PCA bisa dibaca pada bab 7 dan sub bab 7.5.
Penggunaan teknik PCA untuk fusi dua macam citra berbeda resolusi spasial dan spektral, mengikuti langkah-langkah berikut. Pertama, citra multi spektral ditransformasi dengan PCA sehingga menghasilkan citra baru dengan nama PC1,PC2,PC3 dan seterusnya. Berangkat dari asumsi bahwa citra  PG1 mewakili sebagian besar informasi pada saluran multispektral asli dan bahwa PC1 tersebut hanya mengandung iluminasi scene total, sementara variasi antar saluran di kandung oleh PC-PC yang lain (welch dan ehlers, 1987; bretschneirder dan kao, 2000).
                                        

Gambar 66. Contoh tampilan di perangkat lunak ERDAS Imagine yang menyediakan  menu penajaman spasial melalui fusi data multiresolusi

       Kedua , citra PC1 kemudian di ganti oleh citra pangkromatik resolusi tinggi melalui prosesre – mapping julat numerik citra pangkromatik agar sama dengan julat numerik PC1. Ketiga, setelah himpunan data PC berganti anggota , dimana PC1 digantikan oleh citra  Pangkromatik resolusi tinggi  maka seluruh PC dalam satu himpunan data PCA itu di resample ke resolusi tinggi, mengikuti citra pangkromatiknya , keempat seluruh data PC dalam satu himpunan di transformasi kembali (inversely transformed) untuk menghasilkan kembali citra saluran – saluran multispektral penyusunnya, namun masing – masing saluran sudah memuat informasi intensitas dan resolusi spasial  citra pangkromatik.
6.3.5. Metode Normalisasi Warna ( CN )
Penajaman spektral dengan metode normalisasi warna (Colour Sharpening atau Colour Normalization,CN ) sebenarnya merupakan perluasan dari metode Brovey. Perluasan ini terletak pada kemampuannya melibatkan lebih dari tiga saluran. Jadi dengan kata lain, CN mampu mentransformasi &mempertajam  saluran multispektral dengan jumlah berapa pun untuk di padukan dengan citra pangkromatik dengan resolusi spasial yang lebih tingggi. Algoritma yang ada pada CN mampu mempertahankan tipe data pada citra masukan beserta julat spektralnya. CN juga dapat diterapkan pada citra hiperspektral untuk di pertajam dengan citra multispektral beresolusi spasial lebih tinggi.
Penajaman spektral dengan metode CN juga di sebut energy subdivision transform karena menggunakan penajaman spasial citra multispektral berdasarkan citra dengan resolusi spasial tinggi namun  sekaligus memiliki resolusi spektral rendah . julat spektral citra resolusi  spektral rendah ( lebar) yang di gunakan harus mencakup seluruh julat spektral saluran – saluran citra spasial rendah yang akan di pertajam secara spasial. Apabila terdapat saluran – saluran spektral di luar julat minimum – maksimum citra resolusi spasial tinggi maka saluran akan tetap tak berubah ( tak di pertajam ). Julat spektral citra yang digunakan untuk mempertajam di definisikan dengan pusat panjang gelombang  dan nilai minimum setengah lebar spektral penuh. Data semacam ini di asumsikan sudah ada di header citranya & masing – masing citra masukan sudah di definisikan lebar spektral maupun pusat nilai panjang gelombangnya.
    Dalam proses spasial melalui CN  ini , semua saluran masukan di kelompokan ke dalam segmen – segmen spektral yang didefinisikan oleh julat spektral beresolusi tinggi dan hasilnya di normalisasi yaitu di bagi dengan jumlah total citra masukan yang termasuk dalam segmen.
Rumus CN adalah sebagai berikut ( Liu & Mason , 2009 ) :
       

6.4. PEMFILTERAN SPASIAL
     Pemfilteran ( spatial filtering ) sebenarnya merupakan kelompok operasi tersendiri dan bukan hanya penajaman, Swain & Davis (1978)  memberikan batasan filter sebagai mekanisme yang dapat mengubah sinyal – sinyal optis,elektronis ataupun digital, sesuai dengan kriteria tertentu lebih lanjut, keduanya menyatakan bahwa pemfilteran adalah suatu cara untuk ekstrasi bagian data tertentu dari suatu himpunan data , dengan menghilangkan bagian – bagian data yang tidak di inginkan .
Perlu ditegaskan bahwa pengertian filter dalam pengolahancitra berbeda dengan pengertian filter dalam fotografi. Persaman mendasar keduanya hanya terletak pada  kemampuan untuk ‘menyaring’ atau menapis informasi sehingga menghasilkan informasi selektif yang tak dapat di lihat pada kondisi biasa. Filter fotografi   yang lebih dikenal sebagai filter optis mampu menapis beberapa spektrum panjang gelombang dan juga melanjutkan spektrum tertentu. Filter dalam pengolahan citra ( secara khusus di sebut filter  digital) dirancang untuk ‘menyaring’ infor-masi spektral sehingga menghasilkan citra baru yang mempunyai variasi nilai spektral yang berbeda dari citra asli.
6.4. 1 Filter Konvolusi dengan Jendela Bergerak
     Berbeda halnya dengan teknik penajaman kontras , operasi pemfilteran diterapkan dengan mempertimbangkan nilai piksel yang bertetangga. Oleh karena itu , teknik pemfilteran lebih sering di sebut sebagai operasi lokal (local operation), sedangkan teknik penajaman yang lain di sebut operasi titik (point operation) (Galtier, 1989). Operasi lokal ini dapat dilakukan dengan menerapkan alogaritma moving window ,Jendela yang dimaksud disini adalah matriks,  biasanya 3 x 3 atau 5 x 5 , 7 x 7 dan seterusnya, yang dioperasikan terhadap matriks total ( i baris x j kolom citra ), melaui algoritma tertentu sehingga menghasilkan nilai baru  pada  posisi nilai piksel pusat. Nilai baru ini menggantikan nilai lama . setelah itu , jendela di geser lagi ke posisi berikutnya ( ke kanan ) sampai satu baris selesai , dan di lanjutkan lagi ke baris selanjutnya sampai seluruh citra selesai di hitung.
Tiap jendela matriks mempunyai nilai atau bobot sendiri , begitu pula algoritmanya, khususnya untuk jendela yang berbentuk 3 x 1 ataupun 2 x 2. Dalam paket program pengolahan citra, penyusunya jendela matriks ini dapat sangat interaktif sehingga pengguna dapat mengisikan nilai sesuai dengan keinginan ke dalam tiap sel matriks tersebut.
                     

              
      Terdapat bermacam macam filter digital , tetapi dalam konteks penajaman citra terdapat dua macam filter utama , yaitu filter high–pass dan fiter low-pass, Keduanya menghasilkan efek yang berlawanan.  Fiter high-pass menghasilkan citra dengan variasi nilai kecerahan yang besar dari piksel ke piksel , sedangkan fiter low-pass justru berfungsi sebaliknya. Di samping  itu, masih lagi kategori filter lain , yang tidak akan di uraikan disini secara panjang lebar.
Untuk membahas filter, terlebih dahulu kita ketahui pengertian frekuensi nilai keceraha. Bila kita membuat penampang melintang diatas sebuah citra digital, kita akan memperoleh informasi nilai kecerahan (BV) dari suatu piksel ke piksel berikutnya . semvkin besar variasi nilai dari suatun piksel ke piksel selanjutnya , di katakan semakin tinggi frekuensinya ( lihat gambar 6.8 dan 6.9).
Penggunaan filter high-pass ialah untuk menaikan frekuensi ini sehingga batas satu bentuk dengan bentuk lain menjadi semakin tajam. Penggunaan filter low-pass adalah untuk menghasilkan efek kebalikannya : batas suatu bentuk ke bentuk lain menjadi kabur sehingga terkesan gradasi yang halus. Gradasi yang halus inilah yang di sebut dengan frekuensi rendah.
                         


                           


1.                  Penggunan Gain dan Offset

Pada setiap matriks filter terdapat koefisien Ci yang dapat di ubah – ubah oleh operator. Bagaimana kita bisa membedakan suatu filter bersifat high-pass dan yang lain bersifat low-pass ? ada beberapa cara untuk melakukan hal tersebut, namun berikut ini hanya di jelaskan salah satu cara yang paling sederana , yaitu pengunaan gain dan offset. Berikut ini di berikan
Contoh salah satu matriks  filterberukuran 3 x 3 dengan koefisien matriks Ci untuk i = 1,2,3....9,
                                      

Besarnya gain didefinisikan sebagai :
             

dan untuk mengindari nilai tak terhingga karena penyebut bernilai 0 maka program biasanya mengatur apabila jumlah total seluruh koefisien dalam matriks bernilai 0,nilai gain diatur menjadi 1.

Matriks ini di gunakan untuk mengubah nilai piksel pada citra, tepat yang berimpit dengan Cs melalui perkalian nilai gain dengan jumlah dari hasil kali setiap nilai koefisien filter Ci dengan nilai piksel BV pada posisi yang sama pada citra :
Dimana BVpusat_baru adalah BV5 ( pada posisi  kelima dalam kernel 3 x 3 ) atau BV13
(pada posisi ketiga belas dalvm kernel 5 x 5). Besarnya Offset bervariasi antara 0-255, yang gunanya ialah untuk ’ menggeser’ nilai kecerahan citra menjadi lebih tinggi. Offset akan sangat bermanfaat apabila hasil kali gain dengan jumlah perkalian setiap koefisien dengan nilai piksel pada citra bernilai negatif atau sangat rendah sehingga tampak gelap pada layar monitor.
Berdasarkan formulasi ini , pemberian nilai  koefisien yang berbeda- beda akan memberikan efek spasial yang berbeda pula. Misalnya, apabila semua keofisien bernilai + 1 maka akan dihasilkan efek spasial yanb berbeda jika c5 diberi nilai 9 dan koefisien sisanya di beri -1.
2.                  Filter Low-pass

Filter ini paling sering di gunakan untuk memperhalus kenampakan citra.
Biasanya berbentuk jendela matriks 3 x 3 ataupun 5 x 5 yang tiap selnya berisi nilai integer dengan perbedaan nilai yang tidak terlalu besar.
Moving average filter atau mean fiter menghasilkan kenampakan halus, dimana nilai piksel yang barumerupakan rerata dari hasil kvli tiap elemen matriks dengan nilai piksel yang dimaksud.
                                  


Bila mean filter ini dioperasikan terhadap citra asli-hipotetik seperti diatas maka filter ini akan mulai dari susunan piksel pojok kiri atas ( lihat gambar ). Apabila nilai offset diberi 0 maka nilai 13 sebagai nilai asli akan tertransformasi kembali menjadi :


Nilai 28 ini adalah nilai rerata dari sembilan piksel yang bertetangga, setelah ‘menyelesaikan’ jendela ini, matriks bergeser ke jendela berikutnya,  yaitu.
                                     13 12 20 . . . .
                                   13 10 9 . . . .
                                   50 50 51. . . 
                    
 Bila diperhatikan terdapat dua gejala yang penting hasil pemfilteran dengan filter low pass ini. Gejala pertama ialah terjadinya penghalusan (smoothing) gradasi nilai dari satu piksel ke piksel yang lain sehingga perubahan nilai yang mencolok dapat ditekan dengan memberikan nilai baru yang merupakan rerata dari niali-nilai piksel tetangga. Gejala kedua yaitu pada hasil pemfilteran terjadi penyusutan ukuran asli citra, dari m kolom x n baris menjadi m-2 kolom x n-2 baris untuk filter berukuran 3x3; m-4 kolom x n-4 baris , untuk 5x5; dan seterusnya. Untuk menghindari penyusutan ukuran citra yang terfilter; biasanya pada program pemfilteran ditambahkan suatu algoritma penyalinan baris-baris kedua dari atas dan kedua dari bawah untuk mengganti baris –baris yang hilang, yaitu baris teratas dan terbawah. Hal yang sama diterapkan pada kolom-kolom yang hilang sehingga ukuran citra terfilter menjadi sama dengan ukuran citra asli.
Karena efeknya yang menghaluskan citra, algoritma pemfilteran ini disebut juga sebagai algoritma smoothing(penghalusan). Algoritma smoothing yang lain ialah menggunakan filter semacam ini:

 







3. filter high-pass
Filter high-pass biasa digunakan untuk menonjolkan perbedaan antara objek ataupun perbedaan nilai, kondisi ataupun sifat antar objek yang diwakili oleh nilai piksel. Perbedaan ini dapat ditonjolkan melalui teknik penajaman tepi(edge enhancement) dan juga penonjolan kenampakan linear. Penajaman tepi sangat baik untuk menyajikan kenampakan objek yang sangat bervariasi pada citra sehingga satu sama lain dapat dibedakan degan mudah. Filter-highpass juga diterapkan dalam penyajian efek bayangan (shadow effect) sehingga mempermudah analisis fisiografik. Filter high pass meliputi berbagai operasi lokal yang mempertajam kesan. Namun dapat dikelompokan menjadi tiga. Perhatikan pembahasan berikut.

4.Filter dengan metode subtraksi




                                                                                                                                                                                                       












ada tipe filter gradien ,perbedaan intensitas atau nilai kecerahan dapat dihitung pada arah sumbu x dan y . perbedaan ke arah x dapat di hitung sebagai berikut:Prosedur penurunan citra baru melalui filter high pass pengurangan (subtraksi) ini dapat dibagi menjadi dua langkah. Pertama penghitungan nilai baru dengan menggunakan algoritma moving average berdasarkan definisi matriks filternya. Kedua citra high pass diperoleh dari pengurangan citra asli dengan citra moving average nya (shresta,1991)















5.filter gradien


Padtipe filter gradien ,perbedaan intensitas atau nilai kecerahan dapat dihitung pada arah sumbu x dan y . perbedaan ke arah x dapat di hitung sebagai berikut :


Pemfilteran ini dapat pula diterapkan untuk pembuatan model tiga dimensi dengan DTM . berbeda dengan filter-filter yang telah diuraikan terdahulu, filter arah (directional filter) ini di terapkan pada data digital hasil interpolasi kuntur. Citra kontur hasil intelpolasi garis-garis isoline dipandang sebagai citra intensitas dan difilter sehingga menghasilkan dua citra turunan (derivat) yaitu citra arah x dan citra arah y.


                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          




 Namun disamping kearah sumbu x dan y , penajaman pun dapat diagonal melalui filter berikut:



6.filter lapalce
Filter lapalce merupakan filter yang di dasari oleh derivatif kedua drivatif pertama memberikan gradien , sedangkan memberikan gradien , sedangkan derivatif  kedua menghasilkan laju perubahan gradien. Hasil berupa  nilai positif menujukan penambahan laju perubahan dan hasil nilai negatif menunjukan pengurangan laju perubahan. Nilai 0 menunjukan sifat konstan. Bila diterapkan pada citra. Filter lapalce ini secara langsung aka menunjukan efek yang cenderung diperhalus (smoothed). Sedangkan bila hasil tersebut dijadikan pengurangan , efek yang dihasilkan adalah penajaman tepi (shresta 1991).
6.4.2 filter mayoritas
Filter mayoritas pada dasarnya bukan suatu algoritma penajaman dan tidak memberikan efek peningkatan ketajaman seperti halnya high pass filter ini digunakan untuk memperbaiki hasil klasifikasi multispektral melalui teknik pemfiltran mayoritas. Piksel-piksel terasing dapat di hilangkan filter mayoritas dirancang berdasarkan suatu asumsi bahwa fenomena geografis bersifat keruangan.

6.4.3 filter tekstur
Penggunaan metode jendela bergerak juga dapat diterapkan untuk mengubah informasi pada suatu citra sehingga menonjolkan kenampakan teksturnya . tekstur adalah frekuensi perubahan rona dalam ruang pada tingkat resolusi terkecil yang dapat di amati secara visual. Pada suatu area tertentu , suatu kenampakan dapat dikatakan bertekstur halus kalau laju perubahan rrona yang ada relatif kecil. Sebaliknya tekstur dikatakan kasar apabila laju perubahan rona dalam ruang observasi juga besar serta bersifat tidak gradual.





Apabila cara berpikir  diterpakan pada citra pengindraan jauh maka bisa dikatakan bahwa semakin homogen nilai pikselnya, atau semakin halus pula teksturnya. Begitu pula sebaliknya. Penilaina kuantitatif tekstur dengan demikian dapat dilakukan dengan memperhatikan piksel-piksel yang bertetangga pada suatu ukuran area observasi tertentu.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                






Mekanisme jendela bergerak pada filter tekstur pada dasarnya sama dengan filter-filter lain. Perbedaanya terletak pada cara komputasi piksel-piksel yang berdampingan dalam jendela tersebut. Mengingat bahwa kenampakan tekstural berkaitan dengan frekuensi perubahan rona-rona piksel-piksel tersebut dan frekuensi perubahan rona juga pada dasarnya terkait dengan beberapa parameter statistik seperti misalnya simpangan baku,variansi dan julat minimum –maksimum maka setiap kelompok piksel pada ukuran jendela tertentu dapat dihitung parameternya statistiknya dan nilai hasil hasil komputasi ini ditempatkan pada piksel pusat jendela.


 










                    Gambar 6.13 Metode pemfilteran tekstural (Sumber : Danoedoro , 2006)
Beberapa perangkat lunak seperti ENVI dan ERDAS imagine menggunakan simpangan baku,rerata, variasi, julat minimum-mkasimum dan juga entropi untuk menyatakan ukuran teksturnya, pada umumnya semakin kecil nilai hasil komputasinya, semakin halus pula teksturnya. Melalui proses pemfilteran sepaerti ini, kenampakan wilayah urban akan cenderung menunjukan nilai tekstural yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah rural. Khususnya apabila citra beresolusi spasial sekitar 20-50 meter digunakan untuk analisis.

6.4.4 Agregasi tekstural
Cara komputasi statistik untuk menonjolkan aspek tekstural tertentu dapat diadopsi melalui proses agregasi, yang memberikan efek penurunan resolusi spasial. Danoedoro (2005) menerapkan agregasi tekstural citra pankromatik quickbird dan landsat ETM+, yang masing-masing bresolusi spasial 0,6m dan 15m menjadi citra baru beresolusi 2,4m dan 3m yang pada dasarnya setara dengan citra multispektral untuk sensor yang sama. Prinsip agregasi ini adalah mengelompokan piksel-piksel resolusi spasial tinggi kedalam satu piksel beresolusi spasial
                     





Gambar 6.14 Metode agregasi tekstural yang memberikan efek penurunan resolusi spasial (Danoedoro, 2006)

Dengan cara ini, setiap 4x4 piksel resolusi 0,6m dijadikan satu piksel baru beresolusi 2,4m, di mana nilai barunya bias diperoleh dari perhitungan rerata, simpangan baku, ataupun variasi dari kelompok piksel penyusunannya. Begitu pula halnya dengan setiap 2x2 piksel citra pankromatik langsat ETM+ yang diturunkan resolusinya menjadi 30m, dengan nilai piksel baru yang merepresentasikan parameter statistic tertentu. Informasi tekstural semacam ini dapat dimanfaatkan untuk mengintegrasikan data pankromatik berusolusi spasial tinggi dengan data multispectral sensor yang sama dalam suatu klasifikasi multispectral sensor yang sama dalam suatu klasifikasi multispectral.

6.5 APLIKASI TEKNIK PEMFILTERAN DALAM STUDI PENGINDRAAN JAUH
            Apabila utama teknik pemfilteran dalam pengindraan jauh ialah untuk pengenalan pola(pattern recognition), khususnya pola spasial objek. Banyak penelitian menggunakan teknik – teknik pemfilteran untuk menonjolkan jenis –jenis batuan atau litologi tertentu. Melalui teknik pemfilteran, variasi relief yang kurang jelas pada citra asli dapat ditonjolkan sehingga topografi suatu bentuklahan tertentu dapat dibedakan dari yang lain secara lebih baik. Penggunaan teknik shadow filter dapat menonjolkan perbedaan topografi perbukitan karst dari perbukitan batu pasir terkikis sedang karena efek simulasi bayangan yang ditimbulkan mampu menonjolkan perbedaan bentuk kubah dan igir yang cenderung membulat.
            Penggunaan filter Laplace mampu menonjolkan kenampakan kekar (joint) pada batuan dan juga kelurusan (lineament) sehingga sangat membantu dalam proses identifikasi batuan untuk pemetaan geologi atau heomorfologi. Filter serupa juga dapat diterapkan untuk studi kekotaan dengan menggunakan citra resolusi tinngi, misalnya SPO-5 pankromatik ataupun Quickbird (0,6m – 2,4m), sehingga jaringan jalan dapat diperjelas; begitu pula blok – blok bangunan yang bentuk, ukuran, pola, dan situasinya dapat membantu dalam pengenalan kelas – kelas pemukiman kota.
            Perpanduan teknik pemfilteran,penajaman kontras dan penyusunan komposit yang tepat akan sangat membantu dalam memperbaiki kualitas citra  yang akan diinterprestasi secara visual. Bila citra komposit hasil perpaduan saluran – saluran asli yang telah difilter hendak digunakan sebagai media pengambilan sampel, meksipun saluran – saluran asli tetap dipakai sebagai masukan, diperlukan kehati – hatian dalam menilai variabilitas spectral objek yang hendak diambil sebagai sampel. hal ini mudah dimengerti ,mengingat kenampakan objek pada citra komposit tadi merupakan hasil perpaduan saluran asli yang telah diubah variabilitas spektralnya.
                                       

Gambar 6.15 Perbandingan hasil pemfilteran. Atas: citra asli Langsat TM 5, bawah: dengan penghalusan (smoothing).

              

Gambar 6.16  Perbandingan hasil pemfilteran untuk daerah muara k
ali wulan, demak. Kiri atas, citra asli; kanan atas : hasil pemfilteran dengan penajaman tepi (edge enhancement), di mana pada kernel 3x3 bagian pusat bernilai 14 dan bagian tepi semua bernilai -1. Kiri bawah, hasil pemfilteran median dengan ukuran kernel 5x5; kanan bawah hasil pemfilteran dengan derivatif kedua (laplace), dimana bagian pusat kernel 3x3 bernilai -4 dan seluruh tepinya bernilai +1.


Gambar 6.17 Citra elevasi yang terbentuk melalui pembuatan model elevasi digital wilayah Gunung kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Citra ini merupakan hasil interpolasi kontur, dimana setiap nilai piksel menunjukkan elevasi dalam meter dan tersaji pada resolusi spasial 30 meter.
          
      Penggunaan citra yang telah terfilter, khususnya filter – filter high-pass atau penajaman tepi-sebagian dasar pengambilan titik-titik control untuk koreksi geometri juga perlu dipertimbangkan secara teliti. Filter – filter tersebut di atas cenderung memanipulasi nilai piksel untuk menonjolkan kesan visual yang lebih baik. Ada kalanya terjadi pergeseran posisi batas objek sebagai konsekuensi perubahan nilai; misalnya pada penerapan filter Laplace. Pergeseran sejauh satu hingga dua piksel ini, bagaimana pun juga, berpengaruh terhadap akurasi posisi titik – titik control, yang sebenarnya berupa piksel – piksel dengan koordinat tertentu.

                                  

Gambar 6.18 Gambar atas dan bawah berturut – turut menunjukkan hasil pemfilteran citra pada Gambar 6.17 ke arah sumbu x (atas) dan sumbu y (bawah), di mana nilai piksel pada masing – masing citra itu menunjukkan nilai beda tinggi piksel tetangganya
 
                  

Gambar 6.19 Hasil pemfilteran shadow atau shaded relief atas citra DEM pada Gambar 6.17. perhatikan bedanya pada kesan relief dan arah bayangan, jika dibadingkan dengan pemfilteran arah x dan y pada Gambar 6.18

            Banyak penelitian mencoba menggabungkan saluran – saluran spectral yang telah difilter tekstur sebagai tambahan terhadap data saluran asli, untuk meningkatkan akurasi hasil klasifikasi multispectral. Penelitian Danoedoro (2003), Chen ea al (2004) dan puissant et al (2005), misalnya, menunjukkan bahwa filter tekstur pada ukuran jendela 7x7 mampu meningkatkan akurasi hasil klasifikasi, khusunya ketika pembedaan kategori  penutupan dan penggunaan lahan tidak terlalu diperhatikan dan atau proses klasifikasi mencoba menggunakan metode penanaman sampel – sampel spectral sebagai objek penggunaan lahan secara langsung.
            Penelitian Danoedoro dan Phinn (2005) selanjutnya menunjukkan bahwa penggunaan filter tekstur untuk saluran – saluran asli justu dapat menurunkan tingkat akurasi hasil klasifikasi, ketika acuan yang digunakan berupa skema klasifikasi penutup lahan yang lebih berorientasi pada kelas – kelas spectral (bukan kategori – kategori spasial. Penelitian ini menunjukkan bahwa skema klasifikasi berperan sangat penting dalam metode dan proses penurunan informasi.




DAFTAR PUSTAKA

Danoedoro.P. 2012 Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta: Andi



MATERI KULIAH KE - 6

BAB 6 PENAJAMAN CITRA DAN PEMFILTERAN SPASIAL      Penajaman citra (image enhancement) meliputi semua operasi yang menghasilkan citra...